Aku di sini! Masih di sini untuk perasaan yang tak terduga. Menyulam kembali kain yang tak terselesaikan di senja itu. Dan kau pun tahu, butuh waktu yang lama.
***
“Ternyata, kamu manis juga.” Gumamku seraya mengelus-elus selembar foto kenangan. Foto seorang lelaki berseragam SMA, mengetuk-ngetuk meja cafe. Ia mengacuhkan sepotong pie cokelat dengan kayu manis di atasnya. Dan aku duduk di sampingnya, menatap lekat-lekat daftar menu makanan. Ah, aku masih ingat saat ia tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Sontak aku kebingungan. Dia pun berkata, “Kita pergi, yuk! Aku nggak tertarik di sini.” Seulas tarikan di bibirnya membentuk senyuman hangat. Aku pun menuruti tanpa ragu.
Lelaki itu membawa langkahku menuju warung makanan di pinggir jalan. Ia meninggalkanku sejenak, setelah memilih tempat duduk yang pas. Dari kejauhan, samar-samar kulihat ia berinteraksi dengan pemilik warung ini.
“Ngapain, sih?”gerutuku sembari bangkit, menjulurkan leher lebih tinggi. Beberapa menit kemudian, lelaki itu kembali dengan wajah sumringah. “Kamu kenapa, Glenn?” tanyaku sambil terus mengunyah kacang di dalam toples kecil yang sengaja dihidangkan untuk para pengunjung.
“Menurut kamu?” Glenn menatapku lekat-lekat. Bola mata cokelat indah memancarkan bahwa dia adalah lelaki sejati. Ah, tidak, tidak! Sejatinya lelaki tidak hanya tampak dalam tatapan mata
“Kok, kamu jadi nanya balik?!” ujarku sinis, memalingkan pandangan ke arah jalanan deru runyam ulah kendaraan. Tanpa kusadari, bola mata itu masih terus menatap. Lembut, lurus, dan penuh makna.
Oh, Tuhan! Tidak! Jangan ijinkan aku ‘tuk jatuh cinta.
Tak beberapa lama, dua orang pengamen jalanan datang menghibur para pengunjung. Ketipak-ketipung suara genderang terdengar merdu ditambah alunan petik gitar senada mesra. Kedua bibir mereka beriringan menyanyikan sebuah lagu yang tak asing bagiku. Glenn merogoh sakunya, mencari-cari uang recehan.
“Bilang aja kalau nggak ada uang!” ceplos saja kuungkapkan kata, tanpa merenda sedikit harga. Glenn hanya menggeleng dan memamerkan gigi putih beraturan. Aku tidak tinggal diam, kubalas saja dengan gertakan kepul tangan di meja. Ah!
“Yee… siapa juga juga yang mau ngasih receh? Noh, lihat! Aku kasih uang sepuluh ribu.” Ujar Glenn seraya menyisingkan lengan. Salah satu dari pengamen itu mengulurkan tangan kanan dan berjalan menjauh dari posisi kami.
“Glenn, aku pengen main gitar, Bisa ajarin, nggak?” Glenn mengangguk menyetujui. Kami pun sepakat bahwa setiap sore akan belajar main gitar. Selang beberapa menit, hidangan hadir tepat di depan mata. Semangkuk ronde jahe yang hangat ditambah kacang penggurih. Karena kegirangan, segera saja aku menyeruput seteguk ronde. Ya! Glenn selalu tahu segalanya tentangku, tentang apa yang kusuka, aku harapkan, dan aku tangisi. Pantas saja jika aku memilihnya sebagai sahabat sejati.
***
Langit telah berubah warna, rona-rona senja dalam lembayung oranye bergegas pulang. Menghantarkan matahari untuk tenggelam. Renungku menyaksikan fenomena alam itu dibangunkan oleh bunyi sms. Buru-buru kuganti pakaian, sesekali menatap cermin seraya menambahkan polesan bedak tipis di wajahku. Aku berlari tunggang langgang ke arah lapangan, berusaha mempercepat langkah.
Glenn duduk di atas kap mobil, menggendong gitar kesayangannya. Aku menatapnya lekat-lekat, dalam diam, mengamati dengan seksama. Glenn memang indah untuk diamati. Ia meraih tanganku, menuntun jemari-jemari ‘tuk memetik senar-senar nada. Tuturnya lembut, tak pernah kesal membimbingku. Aku tahu, dia lelah. Bibir mungilnya menggiringku untuk mendendangkan sebuah lagu.
Lihat aku di sini, bertahan walau kau selalu menyakiti…
Hingga airmataku tak dapat menetes dan habis terurai…
Mungkin karena cinta padamu tulus dari dasar hatiku…
Mungkin karena aku berharap kau dapat mengerti cintaku…
Meski kau terus sakiti aku, cinta ini akan selalu memaafkan…
Dan aku percaya, nanti engkau mengerti bila cintaku tak’kan mati…
Petikan senar terhenti, lelaki dihadapanku berdiam diri. Tenang, namun membingungkan. Perlahan, cucuran airmata mengalir satu per satu, berkelok-kelok tak beraturan di pipinya. Sudut matanya menggambarkan sebuah penyesalan, kekecewaan, pengkhianatan yang mudah sekali untuk diterawang.
“Sudah, Glenn! Dia sudah bahagia dengan lelaki lain.” Kutepuk bahu-nya, ia tetap menangis dalam diam. Memperkeruh suasana dengan keadaan absurd seperti ini. Aku tahu, Glenn masih mencintai Dilla. Sosok wanita yang telah mengkhianati cintanya, pergi dengan seongok cinta yang lain, menghunuskan belati tajam pada hati yang senantiasa menjaga cinta sejati. Bukankah itu tindakan ketidak-adilan? Ya! Memang tak adil untuk kita, menerima semua dengan lapang dada. Berpura-pura rela dan memaafkan, namun sisi hati berbisik bahwa ia masih mencintai gadis itu. Sangat! Untuk sebuah kebisuan dalam pengkhianatan.
“Berat, Va. Aku butuh dia!”
Aku di sini, Glenn. Rasakan kehadiranku! Lihat aku, Glenn!Aku sayang sama kamu.
Hening untuk sesaat. Kuambil selembar tisu di saku, menghapus tetesan-tetesan airmata yang mulai merembes ke dalam tisu. Glenn menghembuskan napas panjang, bercampur aduk dengan kekesalan beberapa tahun yang lalu.
“Aku bener-bener butuh dia, Va.”
Dan kamu nggak pernah menyadari, bahwa aku juga butuh hatimu, Glenn. Andai saja kubisa ungkapkan. Ah, semua ini hanya terselip di dalam mulut, terkunci rapat-rapat.
Sebelah lengannya melayang, merangkul pundakku erat-erat. Mencoba berbagi rasa.
“Va, aku beruntung punya sahabat seperti kamu. Makasih ya, Va.” ujarnya seraya mendekapku dalam dada bidangnya. Membiarkan hidungku mencium harum parfum mint-nya.
Lebih dari sekadar arti sahabat, Glenn. Kurasa, hatiku telah terpenjara. Meliuk-liuk dalam cinta, tak bisa didefinisikan. Lebih dari sekadar kata, ingin sekali kunjinjang sebuah tas untuk berkelana. Hanya bersamamu… Tidak untuk yang lain. Mengertikah? Kuharap kau selalu mengerti.
Sejak hari itu, kami semakin rajin belajar bermain gitar. Tapi sayang, bimbingannya hanya berlangsung tiga bulan. Ia harus pergi ke Jakarta atas kepindahan tugas Ayahnya. Glenn berpesan padaku, “Aku ingin melihatmu bersenandung untukku, suatu hari nanti. Janji, ya? Belajar yang rajin. Kamu pasti bisa.” Lelaki beraroma mint itu mengusik rambutku.
***
Enam tahun kemudian…
Aku duduk di pinggir sungai, menselonjorkan kaki di atas batu besar. Seraut gurauan para anak-anak pencari ikan kecil tak lagi kudengar. Aku sendiri, meratapi hati yang berkecimpung kebohongan. Aku sendiri, mengamati hati yang enggan untuk melampaui. Mungkinkah aku takut? Tak tahu! Mungkinkah aku munafik? Kurasa, iya!
Ketakutan mendera tak ada habisnya. Menggerogoti usia mudaku, mematuk-matuk hati berlandaskan cinta buta. Buta, manakah yang cinta dan manakah yang sayang? Bisakah kusebut dua rasa itu pada satu sosok saja? Glenn!
Aku masih mencintainya dalam senja…
Hari ini kudengar kabar bahwa Glenn kembali pulang ‘tuk sekadar menjenguk sanak-saudaranya di sini. Tidakkah dia mengingatku? Atau sengaja melupakanku? Kupegang sinar gitar, memetik senar-senarnya. Mulai kusenandungkan lagu cinta, mengisyaratkan kerinduanku padanya, sosok pemikat hati. Embusan angin, dan derai air sungai mengakrabkan suasana hatiku. Melabuhkan keadaan beku, meluluh-lantahkan sebongkah kerisauanku. Risau, apakah dia juga memiliki rasa yang sama? Sudahlah, aku harus bergegas menuju lapangan. Mungkin ia sudah menungguku di ayunan.
Sesampainya di sana, tak kutemukan batang hidungnya. Kuputuskan ‘tuk bermain ayunan, menyandarkan kepala di salah satu besinya. Ngekk… ngekkk… ngekkk… Ayunanku berderit lebih cepat, sedikit ngilu di telinga. Srakk… Srakk.. Srakk… Permukaan sandalku bergeser dengan tanah. Menyeret butiran debu.
“Va, apa kabar?” tiba-tiba sebuah suara melejit di balik punggungku. Ia mendorong besi ayunan lebih cepat, lalu memelukku erat.
“Aku baik, Glenn. Kamu gimana?” Jemari tanganku mendorong dadanya, berusaha lepas dari pelukan hangat itu. Kurasa, aku tak pantas mendapatkan pelukan.
“Baik dong! Hey, aku punya berita baik, lho! Sepertinya,” bibirnya berhenti melumat kata. Ia meraih sebotol air mineral dan meneguknya. “aku bakal melamar seseorang, Va.” Lanjutnya, memamerkan sebentuk lekukan kecil di pipi.
Itu aku, ‘kan, Glenn? Iya, ‘kan? Tetap saja, kata itu tak mampu mewakili pembicaraanku. Akhirnya kukatakan, “Oh, iya? Siapa? Kasih tahu dong!” Aku selalu berharap, akulah istrimu, Glenn.
Lelaki berkemeja merah marun itu pun mengeluarkan selembar foto gadis cantik. Rambutnya tergerai indah, jatuh lurus dengan sempurna. Ia memiliki lentik cantik di matanya. Inikah perempuan yang dimaksud oleh Glenn? Jadi, selama ini Glenn hanya menganggapku sebagai sahabat? Bukan begitu?
Oh Tuhan, sulit untuk menerima semua ini. Bertahun-tahun aku menunggunya. Bertahun-tahun aku menggenggam sejumput cinta agar tak tergores luka, tapi nyatanya? Semua sia-sia. Tak ada secuil pun hakikat cinta untukku. Sakit!
“Ini calon istriku, Va. Oh iya, sudah bisa main gitar, ‘kan? Tunjukkin dong!” ucapnya sembari mencolek daguku. Kemudian kedua tangannya bersendekap di dada, menungguku berdendang.
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi…
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam…
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang…
Aku tanpamu, butiran debu…
Aku tidak pernah mengerti, kapan semua perubahan rasa bisa berujung bahagia atau berujung luka. Terkadang, aku ingin membaca pikirannya. Menembus, menyusup ke dalam hatinya ‘tuk sekedar mencari kebohongan rasa yang bisa terkuak kapan saja. Aku ingin kesungguhan, tak ada yang lain. Aku ingin mencari jejak-jejak cinta di matanya yang penuh kisah. Dan menemukan diriku di dalamnya. Tapi, itu sangat tidak mungkin. Aku tak pernah ada di matanya. Aku ada di ujung jemarinya, sekadar sahabat. Tidak lebih!
Sudah cukup luka ini, ku ‘kan kembali menyulam cinta yang lain.
Glenn, aku menemukan cinta di waktu senja…
Maka, akan kulepas cinta di waktu senja pula…
***
“Ternyata, kamu manis juga.” Gumamku seraya mengelus-elus selembar foto kenangan. Foto seorang lelaki berseragam SMA, mengetuk-ngetuk meja cafe. Ia mengacuhkan sepotong pie cokelat dengan kayu manis di atasnya. Dan aku duduk di sampingnya, menatap lekat-lekat daftar menu makanan. Ah, aku masih ingat saat ia tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya. Sontak aku kebingungan. Dia pun berkata, “Kita pergi, yuk! Aku nggak tertarik di sini.” Seulas tarikan di bibirnya membentuk senyuman hangat. Aku pun menuruti tanpa ragu.
Lelaki itu membawa langkahku menuju warung makanan di pinggir jalan. Ia meninggalkanku sejenak, setelah memilih tempat duduk yang pas. Dari kejauhan, samar-samar kulihat ia berinteraksi dengan pemilik warung ini.
“Ngapain, sih?”gerutuku sembari bangkit, menjulurkan leher lebih tinggi. Beberapa menit kemudian, lelaki itu kembali dengan wajah sumringah. “Kamu kenapa, Glenn?” tanyaku sambil terus mengunyah kacang di dalam toples kecil yang sengaja dihidangkan untuk para pengunjung.
“Menurut kamu?” Glenn menatapku lekat-lekat. Bola mata cokelat indah memancarkan bahwa dia adalah lelaki sejati. Ah, tidak, tidak! Sejatinya lelaki tidak hanya tampak dalam tatapan mata
“Kok, kamu jadi nanya balik?!” ujarku sinis, memalingkan pandangan ke arah jalanan deru runyam ulah kendaraan. Tanpa kusadari, bola mata itu masih terus menatap. Lembut, lurus, dan penuh makna.
Oh, Tuhan! Tidak! Jangan ijinkan aku ‘tuk jatuh cinta.
Tak beberapa lama, dua orang pengamen jalanan datang menghibur para pengunjung. Ketipak-ketipung suara genderang terdengar merdu ditambah alunan petik gitar senada mesra. Kedua bibir mereka beriringan menyanyikan sebuah lagu yang tak asing bagiku. Glenn merogoh sakunya, mencari-cari uang recehan.
“Bilang aja kalau nggak ada uang!” ceplos saja kuungkapkan kata, tanpa merenda sedikit harga. Glenn hanya menggeleng dan memamerkan gigi putih beraturan. Aku tidak tinggal diam, kubalas saja dengan gertakan kepul tangan di meja. Ah!
“Yee… siapa juga juga yang mau ngasih receh? Noh, lihat! Aku kasih uang sepuluh ribu.” Ujar Glenn seraya menyisingkan lengan. Salah satu dari pengamen itu mengulurkan tangan kanan dan berjalan menjauh dari posisi kami.
“Glenn, aku pengen main gitar, Bisa ajarin, nggak?” Glenn mengangguk menyetujui. Kami pun sepakat bahwa setiap sore akan belajar main gitar. Selang beberapa menit, hidangan hadir tepat di depan mata. Semangkuk ronde jahe yang hangat ditambah kacang penggurih. Karena kegirangan, segera saja aku menyeruput seteguk ronde. Ya! Glenn selalu tahu segalanya tentangku, tentang apa yang kusuka, aku harapkan, dan aku tangisi. Pantas saja jika aku memilihnya sebagai sahabat sejati.
***
Langit telah berubah warna, rona-rona senja dalam lembayung oranye bergegas pulang. Menghantarkan matahari untuk tenggelam. Renungku menyaksikan fenomena alam itu dibangunkan oleh bunyi sms. Buru-buru kuganti pakaian, sesekali menatap cermin seraya menambahkan polesan bedak tipis di wajahku. Aku berlari tunggang langgang ke arah lapangan, berusaha mempercepat langkah.
Glenn duduk di atas kap mobil, menggendong gitar kesayangannya. Aku menatapnya lekat-lekat, dalam diam, mengamati dengan seksama. Glenn memang indah untuk diamati. Ia meraih tanganku, menuntun jemari-jemari ‘tuk memetik senar-senar nada. Tuturnya lembut, tak pernah kesal membimbingku. Aku tahu, dia lelah. Bibir mungilnya menggiringku untuk mendendangkan sebuah lagu.
Lihat aku di sini, bertahan walau kau selalu menyakiti…
Hingga airmataku tak dapat menetes dan habis terurai…
Mungkin karena cinta padamu tulus dari dasar hatiku…
Mungkin karena aku berharap kau dapat mengerti cintaku…
Meski kau terus sakiti aku, cinta ini akan selalu memaafkan…
Dan aku percaya, nanti engkau mengerti bila cintaku tak’kan mati…
Petikan senar terhenti, lelaki dihadapanku berdiam diri. Tenang, namun membingungkan. Perlahan, cucuran airmata mengalir satu per satu, berkelok-kelok tak beraturan di pipinya. Sudut matanya menggambarkan sebuah penyesalan, kekecewaan, pengkhianatan yang mudah sekali untuk diterawang.
“Sudah, Glenn! Dia sudah bahagia dengan lelaki lain.” Kutepuk bahu-nya, ia tetap menangis dalam diam. Memperkeruh suasana dengan keadaan absurd seperti ini. Aku tahu, Glenn masih mencintai Dilla. Sosok wanita yang telah mengkhianati cintanya, pergi dengan seongok cinta yang lain, menghunuskan belati tajam pada hati yang senantiasa menjaga cinta sejati. Bukankah itu tindakan ketidak-adilan? Ya! Memang tak adil untuk kita, menerima semua dengan lapang dada. Berpura-pura rela dan memaafkan, namun sisi hati berbisik bahwa ia masih mencintai gadis itu. Sangat! Untuk sebuah kebisuan dalam pengkhianatan.
“Berat, Va. Aku butuh dia!”
Aku di sini, Glenn. Rasakan kehadiranku! Lihat aku, Glenn!Aku sayang sama kamu.
Hening untuk sesaat. Kuambil selembar tisu di saku, menghapus tetesan-tetesan airmata yang mulai merembes ke dalam tisu. Glenn menghembuskan napas panjang, bercampur aduk dengan kekesalan beberapa tahun yang lalu.
“Aku bener-bener butuh dia, Va.”
Dan kamu nggak pernah menyadari, bahwa aku juga butuh hatimu, Glenn. Andai saja kubisa ungkapkan. Ah, semua ini hanya terselip di dalam mulut, terkunci rapat-rapat.
Sebelah lengannya melayang, merangkul pundakku erat-erat. Mencoba berbagi rasa.
“Va, aku beruntung punya sahabat seperti kamu. Makasih ya, Va.” ujarnya seraya mendekapku dalam dada bidangnya. Membiarkan hidungku mencium harum parfum mint-nya.
Lebih dari sekadar arti sahabat, Glenn. Kurasa, hatiku telah terpenjara. Meliuk-liuk dalam cinta, tak bisa didefinisikan. Lebih dari sekadar kata, ingin sekali kunjinjang sebuah tas untuk berkelana. Hanya bersamamu… Tidak untuk yang lain. Mengertikah? Kuharap kau selalu mengerti.
Sejak hari itu, kami semakin rajin belajar bermain gitar. Tapi sayang, bimbingannya hanya berlangsung tiga bulan. Ia harus pergi ke Jakarta atas kepindahan tugas Ayahnya. Glenn berpesan padaku, “Aku ingin melihatmu bersenandung untukku, suatu hari nanti. Janji, ya? Belajar yang rajin. Kamu pasti bisa.” Lelaki beraroma mint itu mengusik rambutku.
***
Enam tahun kemudian…
Aku duduk di pinggir sungai, menselonjorkan kaki di atas batu besar. Seraut gurauan para anak-anak pencari ikan kecil tak lagi kudengar. Aku sendiri, meratapi hati yang berkecimpung kebohongan. Aku sendiri, mengamati hati yang enggan untuk melampaui. Mungkinkah aku takut? Tak tahu! Mungkinkah aku munafik? Kurasa, iya!
Ketakutan mendera tak ada habisnya. Menggerogoti usia mudaku, mematuk-matuk hati berlandaskan cinta buta. Buta, manakah yang cinta dan manakah yang sayang? Bisakah kusebut dua rasa itu pada satu sosok saja? Glenn!
Aku masih mencintainya dalam senja…
Hari ini kudengar kabar bahwa Glenn kembali pulang ‘tuk sekadar menjenguk sanak-saudaranya di sini. Tidakkah dia mengingatku? Atau sengaja melupakanku? Kupegang sinar gitar, memetik senar-senarnya. Mulai kusenandungkan lagu cinta, mengisyaratkan kerinduanku padanya, sosok pemikat hati. Embusan angin, dan derai air sungai mengakrabkan suasana hatiku. Melabuhkan keadaan beku, meluluh-lantahkan sebongkah kerisauanku. Risau, apakah dia juga memiliki rasa yang sama? Sudahlah, aku harus bergegas menuju lapangan. Mungkin ia sudah menungguku di ayunan.
Sesampainya di sana, tak kutemukan batang hidungnya. Kuputuskan ‘tuk bermain ayunan, menyandarkan kepala di salah satu besinya. Ngekk… ngekkk… ngekkk… Ayunanku berderit lebih cepat, sedikit ngilu di telinga. Srakk… Srakk.. Srakk… Permukaan sandalku bergeser dengan tanah. Menyeret butiran debu.
“Va, apa kabar?” tiba-tiba sebuah suara melejit di balik punggungku. Ia mendorong besi ayunan lebih cepat, lalu memelukku erat.
“Aku baik, Glenn. Kamu gimana?” Jemari tanganku mendorong dadanya, berusaha lepas dari pelukan hangat itu. Kurasa, aku tak pantas mendapatkan pelukan.
“Baik dong! Hey, aku punya berita baik, lho! Sepertinya,” bibirnya berhenti melumat kata. Ia meraih sebotol air mineral dan meneguknya. “aku bakal melamar seseorang, Va.” Lanjutnya, memamerkan sebentuk lekukan kecil di pipi.
Itu aku, ‘kan, Glenn? Iya, ‘kan? Tetap saja, kata itu tak mampu mewakili pembicaraanku. Akhirnya kukatakan, “Oh, iya? Siapa? Kasih tahu dong!” Aku selalu berharap, akulah istrimu, Glenn.
Lelaki berkemeja merah marun itu pun mengeluarkan selembar foto gadis cantik. Rambutnya tergerai indah, jatuh lurus dengan sempurna. Ia memiliki lentik cantik di matanya. Inikah perempuan yang dimaksud oleh Glenn? Jadi, selama ini Glenn hanya menganggapku sebagai sahabat? Bukan begitu?
Oh Tuhan, sulit untuk menerima semua ini. Bertahun-tahun aku menunggunya. Bertahun-tahun aku menggenggam sejumput cinta agar tak tergores luka, tapi nyatanya? Semua sia-sia. Tak ada secuil pun hakikat cinta untukku. Sakit!
“Ini calon istriku, Va. Oh iya, sudah bisa main gitar, ‘kan? Tunjukkin dong!” ucapnya sembari mencolek daguku. Kemudian kedua tangannya bersendekap di dada, menungguku berdendang.
Aku terjatuh dan tak bisa bangkit lagi…
Aku tenggelam dalam lautan luka dalam…
Aku tersesat dan tak tahu arah jalan pulang…
Aku tanpamu, butiran debu…
Aku tidak pernah mengerti, kapan semua perubahan rasa bisa berujung bahagia atau berujung luka. Terkadang, aku ingin membaca pikirannya. Menembus, menyusup ke dalam hatinya ‘tuk sekedar mencari kebohongan rasa yang bisa terkuak kapan saja. Aku ingin kesungguhan, tak ada yang lain. Aku ingin mencari jejak-jejak cinta di matanya yang penuh kisah. Dan menemukan diriku di dalamnya. Tapi, itu sangat tidak mungkin. Aku tak pernah ada di matanya. Aku ada di ujung jemarinya, sekadar sahabat. Tidak lebih!
Sudah cukup luka ini, ku ‘kan kembali menyulam cinta yang lain.
Glenn, aku menemukan cinta di waktu senja…
Maka, akan kulepas cinta di waktu senja pula…
By : Ayu Safitri
Pematang - Siantar