Suatu ketika hiduplah setangkai kembang sepatu. Ia tinggal di atas sebuah bukit nan permai. Bukit itu sungguh indah, sebab dari kaki bukit hingga puncaknya diselimuti aneka ragam bunga-bungaan. Ada bunga lili, mawar, dahlia, anggrek hutan, bakung, dan ratusan bahkan ribuan jenis bunga lainnya. Sedang tempat tinggal si kembang sepatu itu jauh di atas bukit, akan sulit melihatnya dengan sekali pandang sebab ia terhalangi oleh rumpun semak belukar yang menjadi tetangganya.
Si kembang sepatu menyukai seekor kumbang pendiam yang senantiasa ia lihat di kaki bukit itu tiap harinya. Entah apa yang membuatnya begitu suka pada kumbang itu atau sejak kapan rasa itu mulai ada. Haruskah kita selalu punya alasan untuk menyukai sesuatu? Nyatanya, si kembang sepatu hanya dapat melihat si kumbang dalam kemeriahan dari jarak jauh.
Kawanan kumbang dan kupu-kupu itu hanya bergerombol paling jauh sampai di perut bukit, tak pernah sampai ke puncaknya. Wajar saja, sebab di kaki bukit hingga perut bukit itulah warna-warni semerbak kumpulan bebungaan hidup di sana. Letak si kembang sepatu terlalu jauh di atas sana, lagipula apalah arti setangkai kembang sepatu dibanding bunga-bunga nan elok itu?
Meski dengan keadaan semacam itu, si kembang sepatu tiap paginya selalu bangun paling awal. Berucap terima kasih pada sang mentari pagi, menggeliat memekarkan tiap kelopak tubuhnya, menyunggingkan senyum terbaik yang dimiliki sehabis mandi embun. Ia lakukan itu hingga lembayung senja menorehkan segurat jingga di cakrawala.
Ia akan menjadi bunga terakhir yang mengatupkan kelopaknya, mengistirahatkan raganya untuk kembali mekar esok hari. Tiap hari ia selalu demikian tanpa mengenal kata lelah. Ia pendam impiannya yang terdalam pada si kumbang bagi dirinya sendiri. Ia sadar, dirinya hanyalah setangkai kembang sepatu di antara berjenis-jenis bunga di bukit itu, tak lebih tak kurang. Pun akan sulit bagi siapa saja untuk dapat menggapainya, demikian juga bagi si kumbang yang disukainya itu. Terlalu banyak rintang yang mesti dihadapi untuk dapat bagi keduanya bertemu. Toh si kembang sepatu tak mau menyakiti diri sendiri dan si kumbang dengan memaksakan kehendak cintanya.
Sang rembulan merasa iba melihat keadaan yang demikian itu. Maka pada suatu malam di saat malam semakin tua, ia hampiri si kembang sepatu, sahabatnya.
"Aku tahu apa yang kau lakukan tiap harinya. Yang tidak kumengerti adalah, untuk apa kau lakukan semua itu? Tidakkah itu tampak berlebihan dan sia-sia belaka? Mengapa?"
"Rembulan sahabatku, kau mungkin benar dengan ucapanmu itu, bahwa aku tampak berlebihan. Tapi aku sadar dengan apa yang kulakukan dan aku yakin itu tidaklah sia-sia."
"Dan kumbang itu... dari binar matamu saja siapapun akan tahu betapa kau mencintainya benar, si kumbang itu. Kau yakin tidak salah pilih?"
"Lagi-lagi kau mungkin benar sahabatku, bahwa aku mungkin salah memilih pada siapa aku mencintai. Tapi aku tak bisa mendustai diriku sendiri dengan berkata tidak atas perasaanku padanya. Lagipula aku tidak memilih untuk itu, cintalah yang datang menghampiriku."
"Ah... melihatmu seperti itu tiap harinya... kau tahu, aku sudah terlalu tua hanya untuk lagi-lagi menyaksikan kemalangan cinta. Aku benar-benar merasa kasihan padamu."
"Terima kasih atas segala perhatianmu, sahabatku. Aku memang tampak tolol karena semua itu, dan itulah resiko yang mesti kuhadapi. Tapi bagaimana lagi? Inilah diriku adanya. Bisa saja aku berpura-pura menjadi mawar ataupun anggrek, atau bahkan seroja. Tapi itu semua tetap saja bukanlah diriku, bagaimanapun indah dan wanginya mereka. Aku bersyukur atas keadaan siapa diriku selama ini dan aku tak mau berpura-pura menjadi yang lain. Adakah yang salah dengan menjadi diri sendiri?"
“Kau tahu? Aku telah hidup jauh lebih lama dari siapapun yang kau kenal dikali usia mereka semua. Telah kusaksikan mereka yang berpegang teguh pada jalannya, ada yang terperosok hingga tak bisa kembali, dan tak jarang ada yang mampu menemukan ujung jalan yang ditempuhnya. Yang paling banyak adalah mereka yang senantiasa mencari sepanjang kehidupannya akan sebuah jalan. Yang coba ingin kukatakan padamu adalah, selalu ada jalan sahabat, selalu ada. Jika kau mau membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan. Kuharap kau berbahagia dengan jalan mana saja yang kau pilih.”
***
Malam kian larut. Cengkerik, katak, tonggeret, bersama anjing hutan sahut menyahut membentuk orkestra malam; mendendangkan puja-puji bagi Sang Pencipta kehidupan. Angin mendesir lirih menina bobokkan semua penghuni bukit. Sementara itu jalang mata burung hantu mengawasi semua yang ada. Jika dilihat dari kejauhan, bukit pada malam itu hanyalah serupa gundukan besar yang gelap, dan sunyi.
“Kau tahu? Aku telah hidup jauh lebih lama dari siapapun yang kau kenal dikali usia mereka semua. Telah kusaksikan mereka yang berpegang teguh pada jalannya, ada yang terperosok hingga tak bisa kembali, dan tak jarang ada yang mampu menemukan ujung jalan yang ditempuhnya. Yang paling banyak adalah mereka yang senantiasa mencari sepanjang kehidupannya akan sebuah jalan. Yang coba ingin kukatakan padamu adalah, selalu ada jalan sahabat, selalu ada. Jika kau mau membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan. Kuharap kau berbahagia dengan jalan mana saja yang kau pilih.”
***
Malam kian larut. Cengkerik, katak, tonggeret, bersama anjing hutan sahut menyahut membentuk orkestra malam; mendendangkan puja-puji bagi Sang Pencipta kehidupan. Angin mendesir lirih menina bobokkan semua penghuni bukit. Sementara itu jalang mata burung hantu mengawasi semua yang ada. Jika dilihat dari kejauhan, bukit pada malam itu hanyalah serupa gundukan besar yang gelap, dan sunyi.
By : M. Hasan Abdur R.
Mahasiswa Universitas Ibn Khaldun Bogor
terimakasih
ReplyDeletecinta yang tak terucap
ReplyDelete