Pagi ini tidak seperti biasanya, Rani tampak murung dan mengunci diri di kamar. Padahal biasanya dia akan meminta Mang Udin mengantarnya untuk jogging di senayan atau menyuruh Bik Iyem membuatkan perbekalan untuk piknik ke beberapa tempat wisata terdekat, seperti; kota tua, museum, taman mini, monas, ragunan, atau malah ke puncak. Kali ini ia hanya melewatkan akhir pekannya dengan nonton TV sambil mengunyah pop corn caramel favoritnya dikamar. Bik Iyem dengan ragu mengetuk pintu nona majikannya itu. Hendak menanyakan ada apa gerangan sedari pagi Rani tidak juga keluar dari kamarnya, padahal dia tahu betul bahwa Rani tergolong anak yang rajin dan suka bangun pagi.
“Masuk saja bik, tidak dikunci!”, teriak Rani ogah-ogahan. Dia sudah mandi dan mengepang rambutnya dengan beberapa kepangan, tali rambut warna-warni menghias indah diatas kepalanya bagai mahkota putri raja, tapi dengan dandanan serapi itu tampaknya aneh jika ia tidak ingin pergi kemana-mana. “Ada apa bik?”, tanyanya dengan hangat, duduk di sisi tempat tidur dengan cemilan ditangan.
Bik Iyem menggeleng pelan, kekhawatirannya terhadap Rani menguap seketika saat melihat nona majikannya itu dalam keadaan baik dan sehat. “Non Rani tidak pergi kemana-mana? Ini hari minggu lho non!”, tukas si bibik seolah mengingatkan. Yang ditanyapun hanya menggeleng sekenanya. Wajah cantiknya yang biasa terlihat ceria, kini tampak masam dan pucat. Ia bahkan tak mengulum seulas senyum dari pagi.
“Non sakit ya? Bibik buatkan susu hangat dan panggilkan dokter ya non?”, lanjut si bibik. Dia memang orang yang paling memperhatikan Rani semenjak mama tiada, sedang papa yang sibuk terus dengan pekerjaan kantor hampir selalu tak punya waktu untuk bercengkrama dengan anak semata wayangnya itu. Alhasil Rani merasa kesepian dan sering uring-uringan, tapi berkat perhatian yang luar biasa dari Bik Iyem dan Mang Udinlah sekarang ia tumbuh menjadi gadis kecil yang riang dan menganggap tidak ada alasan untuk tidak bahagia menikmati hari-harinya.
“Aku sedang menunggu papa bik, sebentar lagi dia pulang, sekarang sedang on the way!”, kata Rani seperti ingin mengusir kekhawatiran Bik Iyem. “Tolong bibik siapkan saja makan siang yang istimewa, hari ini akan ada tamu yang juga special!”, lanjutnya. Bik Iyem tidak menjawab apalagi bertanya siapa tamu istimewa yang dimaksud. Dia merasa kurang pantas menanyakannya, terlebih dia hanya asisten rumah tangga. Maka sudah sewajarnya jika ia juga tidak terlalu ikut campur dalam urusan majikannya. Bik Iyem keluar dari kamar Rani dan bergegas ke dapur sesuai perintah. Ia memotong daging dan sayuran, membuat beberapa menu masakan sekaligus. Mang Udin yang hanya bengong sedari pagi di teras belakang melihat kesibukan Bik Iyem dan bertanya, “Mau ada tamu ya bik? Siapa?”, ia menghampiri Bik Iyem sambil berbisik.
Si bibik masih sibuk dengan pisau dapur dan potongan bawang. “Hus… memangnya kamu itu siapa? Mau tahu saja tamu orang, kita ini pembantu, kerjakan saja tugas kita dengan baik, nggak usah banyak nanya, apalagi ikut campur!”, timpal Bibik dengan geram. Yang dimarahipun hanya garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Tiba-tiba Rani melongok dari balik punggung si bibik dan mengagetkan, “Ada yang bisa aku bantu?”, ia menghampiri sayuran dalam sebuah wadah plastic dan mencucinya. Mang Udin merasa kikuk dan takut kalau nona majikannya itu mendengar percakapannya tadi dengan Bik Iyem, maka berangsur-angsur ia keluar dari dapur lewat pintu samping ke arah garasi dan memilih untuk mencuci mobil saja.
“Bibik perlu masak untuk berapa orang non?”, Tanya Bik Iyem memecah kebisuan.
“Tiga orang saja bik, aku, papa, dan calon mama baruku!”, jawab Rani datar. Ekspresi wajahnya tampak kecewa, tapi dia tutupi dengan dandanannya yang lebih ceria. Bik Iyem tidak merasa kaget dengan penjelasan Rani, karena dia sendiri mendengar sudah beberapa kali ini papa menyinggung persoalan ibu baru buat Rani di meja makan. Papa merasa perlu meminta seseorang yang bisa menjaga dan memberikan curahan perhatian pada Rani layaknya seorang ibu disaat dirinya sibuk dengan segala tetek bengek urusan pekerjaan. Sedang Rani yang duduk dibangku kelas satu SMP menganggap hal itu tidak perlu dilakukan, dia bukan typical anak mama yang manja dan tergantung pada orang lain. Justru Rani menunjukkan kedewasaannya dengan mengurus dirinya sendiri dan belajar mandiri. Dia membersihkan kamarnya setiap pagi dan membantu Bik Iyem menyiapkan sarapan sebelum ia sendiri berangkat kesekolah. Tapi papa seolah sudah yakin dengan keputusan yang akan diambilnya, dia bermaksud meminang seorang perempuan yang dikenalnya beberapa bulan terakhir. Hubungan keduanya yang sangat akrab menunjukkan bahwa itu bukan hubungan pertemanan biasa, dan Rani cukup pandai membaca fikiran papanya yang kini tengah jatuh hati dengan Mayang, begitu papa sering menyebut namanya dalam beberapa kesempatan.
Dan karena ini merupakan pertama kalinya Rani akan bertemu dengan calon ibu barunya, dia tidak ingin mengecewakan papa dengan menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Dia ingin memberi sambutan manis dan memberi kesan mendalam pada acara makan siang kali ini. Meski dia menyayangkan sikap papa yang terlalu tergesa-gesa untuk beristri lagi. Rani bahkan pernah berkata pada papanya suatu malam, “JIka papa memang bermaksud menikah lagi, menikah saja. Tapi tolong jangan jadikan Rani sebagai alasan yang melegitimasi keinginan papa itu. Rani tidak membutuhkan ibu baru, pa. tapi jangan khawatir, Rani akan tetap menghargai setiap keputusan yang akan papa ambil!”, ucapnya sambil memeluk hangat papanya.
***
Bunyi klakson beberapan kali terdengar dari ruang makan. Rani masih sibuk menata hidangan di meja makan dengan rapi. Ia terlihat lebih tenang dan siap. Kemudian bergegas ke ruang tamu untuk membuka pintu. Sedang bibik justru tampak gusar dan gugup, dalam hati dia terus berdo’a mudah-mudahan siapapun yang terpilih sebagai mama baru buat Rani, dia memang ibu yang baik baginya. Bunyi pintu berderit, perlahan-lahan menampilkan sosok rupawan dibalik daun pintu yang terbuka. Rani tersenyum dan segera menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Halo sayang, senang bertemu denganmu!”, sapa Mayang. Bajunya yang minim dan terkesan seksi dengan dandanan glamour terasa begitu kontras bersanding dengan papa yang berpenampilan sederhana dan bersahaja. Namun ditepisnya pandangan miring tentang Mayang, calon ibu barunya. Rani bergegas mempersilakan keduanya masuk dan mengantarkan ke ruang makan. Diperlihatkan pada Mayang sikapnya yang dewasa layaknya seorang tuan rumah menyambut tamu agung. Ia mendorong sebuah kursi dan meminta Mayang duduk diatasnya. Menuangkan orange jus ke dalam tiga gelas yang telah disediakan Bik Iyem. Dan percakapanpun mengalir sambil menyantap hidangan yang tersaji.
“Sayang, bagaimana kalau setelah makan siang ini kita ajak Rani jalan-jalan”, ucap Mayang pada papa, sedang yang diajak bicarapun hanya mengangguk setuju sambil tersenyum. “Bagaimana Rani, kamu maukan jalan-jalan sama tante?”, tanyanya dengan ramah. Rani tahu betul bahwa sikap yang dibuat-buat Mayang itu terkesan berlebihan, namun ia berharap Mayang akan menjadi istri yang baik bagi papanya walaupun barangkali dia bukan ibu yang baik untuk dirinya. Tiba-tiba ia teringat pada mama yang selalu tampil anggun dan sederhana, sosok wanita yang lembut dan keibuan. Bukan perempuan seperti Mayang yang manja dan suka kemewahan. Rani mendesah berat, barangkali ia tak pantas memberi penilaian demikian pada calon istri papanya, factor usia sepertinya juga turut berperan. Rani melihat garis keriput disekitar kantong mata papa yang hitam kian menunjukkan semakin matangnya usia papanya, sedang perempuan cantik disebelahnya itu terlihat masih muda dan sudah barang tentu usia keduanya terpaut cukup jauh.
Seperti rencana semula, Papa dan Mayang mengajak Rani jalan-jalan ke mall. Mayang tampak begitu antusias memilihkan model baju yang cocok untuk Rani dan tentu saja untuk dirinya sendiri. Sedang papa hanya diam mematung mengikuti keduanya bagaikan kerbau dicocok hidung. Wajah Mayang terlihat berseri-seri, senyumnya lebar karena dahaganya untuk berbelanja terobati. Rani hanya mengangguk setuju saat dipilihkan baju ini dan itu. Dia tak kuasa menolak pilihan calon mama barunya. Setelah beberapa jam memilih baju dan menyelesaikan pembayaran dikasir, papa mengantarkan Mayang pulang. “Mau mampir dulu nggak?”, Tanya Mayang yang direspons Rani dengan sopan.
“Sepertinya lain waktu saja tante, ini sudah terlalu malam. Tante pasti capek dan butuh istirahat!”, jawab Rani.
“Ok, kalau begitu tante masuk dulu ya, dada Rani…! Dada sayang…!”, timpalnya kemudian cipika-cipiki pada Rani dan papa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang keluar dari halaman rumah Mayang ke arah jalan raya yang penuh sesak dan macet. Rani menyalakan MP3 dan memutar lagunya Adele dan someone like you pun mengalun lembut, memecah sepi.
“Sayang, papa boleh tahu bagaimana perasaanmu setelah bertemu dengan tante Mayang?”, Tanya papa tanpa menahan diri. Rani tetap memandang lurus kedepan, dia melihat para pedagang asongan dipinggir jalan yang menjajakan makanan, rata-rata mereka masih anak-anak. Dalam hati ia bersyukur diberikan materi yang cukup oleh Tuhan sehingga diusianya yang masih belia itu dia tidak perlu seperti mereka yang ada diluar sana, mengasong, demi sesuap nasi dan membayar biaya sekolah. Dia tahu kalau batas antara nasib baiknya dengan yang diterima para pengasong itu terlalu tipis, “Tuhan tidak akan memberi ujian yang tidak mampu dilalui oleh hamba-Nya!”, kata-kata itu keluar dari mulut Rani. Ia membuka pintu mobil dan melemparkan uang seribuan beberapa lembar ke arah pengamen malam. Terdengar sorak-sorai dipinggir trotoar berucap terima kasih padanya. Rani tersenyum simpul, kemudian memandang papanya dengan tatapan sulit diartikan.
“Apa?”, Tanya papa bingung dengan respon anaknya.
“Papa sudah yakin dengan keputusan yang akan papa ambil bukan?”, Tanya Rani seolah hendak memastikan.
“Tentu saja, sayang. Papa merasa cocok dengan tante Mayang, dan papa rasa dia juga menyayangimu!”, jawab papa mantap.
“Kalau begitu apa gunanya papa bertanya tentang pendapat Rani, toh tak akan mengubah semuanya. Jadi lakukan saja apa yang papa anggap baik untuk papa!”, jawab Rani lugas, tapi seperti peluru yang meluncur pada sasaran yang tepat. Teramat tajam dan barangkali menembus dada papanya. “Rani menyayangi papa, dan seharusnya papa tak perlu bertanya tentang apapun karena kebahagiaan papa adalah kebahagiaan Rani juga!”, lanjut Rani serius, dia bahkan terlihat lebih dewasa dari papanya.
“Terima kasih sayang!”, tukas papa diakhir kalimat, Rani hanya tersenyum dengan bijak. Dia tahu betul bahwa hidup, mati, jodoh, dan riski, semuanya ditentukan oleh Tuhan. Dan jika Tuhan telah berkehendak, tidak ada yang bisa memajukan atau memundurkan kuasa Tuhan. Dan karena itulah ia menerima Mayang sebagai istri papanya, bukan ibu bagi dirinya. []
*penulis adalah seorang ibu rumah tangga, seorang wirausaha, dan seorang penulis pemula yang bermaksud menerbitkan novelnya yang berjudul, “Dialektika Tuhan”.
“Masuk saja bik, tidak dikunci!”, teriak Rani ogah-ogahan. Dia sudah mandi dan mengepang rambutnya dengan beberapa kepangan, tali rambut warna-warni menghias indah diatas kepalanya bagai mahkota putri raja, tapi dengan dandanan serapi itu tampaknya aneh jika ia tidak ingin pergi kemana-mana. “Ada apa bik?”, tanyanya dengan hangat, duduk di sisi tempat tidur dengan cemilan ditangan.
Bik Iyem menggeleng pelan, kekhawatirannya terhadap Rani menguap seketika saat melihat nona majikannya itu dalam keadaan baik dan sehat. “Non Rani tidak pergi kemana-mana? Ini hari minggu lho non!”, tukas si bibik seolah mengingatkan. Yang ditanyapun hanya menggeleng sekenanya. Wajah cantiknya yang biasa terlihat ceria, kini tampak masam dan pucat. Ia bahkan tak mengulum seulas senyum dari pagi.
“Non sakit ya? Bibik buatkan susu hangat dan panggilkan dokter ya non?”, lanjut si bibik. Dia memang orang yang paling memperhatikan Rani semenjak mama tiada, sedang papa yang sibuk terus dengan pekerjaan kantor hampir selalu tak punya waktu untuk bercengkrama dengan anak semata wayangnya itu. Alhasil Rani merasa kesepian dan sering uring-uringan, tapi berkat perhatian yang luar biasa dari Bik Iyem dan Mang Udinlah sekarang ia tumbuh menjadi gadis kecil yang riang dan menganggap tidak ada alasan untuk tidak bahagia menikmati hari-harinya.
“Aku sedang menunggu papa bik, sebentar lagi dia pulang, sekarang sedang on the way!”, kata Rani seperti ingin mengusir kekhawatiran Bik Iyem. “Tolong bibik siapkan saja makan siang yang istimewa, hari ini akan ada tamu yang juga special!”, lanjutnya. Bik Iyem tidak menjawab apalagi bertanya siapa tamu istimewa yang dimaksud. Dia merasa kurang pantas menanyakannya, terlebih dia hanya asisten rumah tangga. Maka sudah sewajarnya jika ia juga tidak terlalu ikut campur dalam urusan majikannya. Bik Iyem keluar dari kamar Rani dan bergegas ke dapur sesuai perintah. Ia memotong daging dan sayuran, membuat beberapa menu masakan sekaligus. Mang Udin yang hanya bengong sedari pagi di teras belakang melihat kesibukan Bik Iyem dan bertanya, “Mau ada tamu ya bik? Siapa?”, ia menghampiri Bik Iyem sambil berbisik.
Si bibik masih sibuk dengan pisau dapur dan potongan bawang. “Hus… memangnya kamu itu siapa? Mau tahu saja tamu orang, kita ini pembantu, kerjakan saja tugas kita dengan baik, nggak usah banyak nanya, apalagi ikut campur!”, timpal Bibik dengan geram. Yang dimarahipun hanya garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
Tiba-tiba Rani melongok dari balik punggung si bibik dan mengagetkan, “Ada yang bisa aku bantu?”, ia menghampiri sayuran dalam sebuah wadah plastic dan mencucinya. Mang Udin merasa kikuk dan takut kalau nona majikannya itu mendengar percakapannya tadi dengan Bik Iyem, maka berangsur-angsur ia keluar dari dapur lewat pintu samping ke arah garasi dan memilih untuk mencuci mobil saja.
“Bibik perlu masak untuk berapa orang non?”, Tanya Bik Iyem memecah kebisuan.
“Tiga orang saja bik, aku, papa, dan calon mama baruku!”, jawab Rani datar. Ekspresi wajahnya tampak kecewa, tapi dia tutupi dengan dandanannya yang lebih ceria. Bik Iyem tidak merasa kaget dengan penjelasan Rani, karena dia sendiri mendengar sudah beberapa kali ini papa menyinggung persoalan ibu baru buat Rani di meja makan. Papa merasa perlu meminta seseorang yang bisa menjaga dan memberikan curahan perhatian pada Rani layaknya seorang ibu disaat dirinya sibuk dengan segala tetek bengek urusan pekerjaan. Sedang Rani yang duduk dibangku kelas satu SMP menganggap hal itu tidak perlu dilakukan, dia bukan typical anak mama yang manja dan tergantung pada orang lain. Justru Rani menunjukkan kedewasaannya dengan mengurus dirinya sendiri dan belajar mandiri. Dia membersihkan kamarnya setiap pagi dan membantu Bik Iyem menyiapkan sarapan sebelum ia sendiri berangkat kesekolah. Tapi papa seolah sudah yakin dengan keputusan yang akan diambilnya, dia bermaksud meminang seorang perempuan yang dikenalnya beberapa bulan terakhir. Hubungan keduanya yang sangat akrab menunjukkan bahwa itu bukan hubungan pertemanan biasa, dan Rani cukup pandai membaca fikiran papanya yang kini tengah jatuh hati dengan Mayang, begitu papa sering menyebut namanya dalam beberapa kesempatan.
Dan karena ini merupakan pertama kalinya Rani akan bertemu dengan calon ibu barunya, dia tidak ingin mengecewakan papa dengan menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Dia ingin memberi sambutan manis dan memberi kesan mendalam pada acara makan siang kali ini. Meski dia menyayangkan sikap papa yang terlalu tergesa-gesa untuk beristri lagi. Rani bahkan pernah berkata pada papanya suatu malam, “JIka papa memang bermaksud menikah lagi, menikah saja. Tapi tolong jangan jadikan Rani sebagai alasan yang melegitimasi keinginan papa itu. Rani tidak membutuhkan ibu baru, pa. tapi jangan khawatir, Rani akan tetap menghargai setiap keputusan yang akan papa ambil!”, ucapnya sambil memeluk hangat papanya.
***
Bunyi klakson beberapan kali terdengar dari ruang makan. Rani masih sibuk menata hidangan di meja makan dengan rapi. Ia terlihat lebih tenang dan siap. Kemudian bergegas ke ruang tamu untuk membuka pintu. Sedang bibik justru tampak gusar dan gugup, dalam hati dia terus berdo’a mudah-mudahan siapapun yang terpilih sebagai mama baru buat Rani, dia memang ibu yang baik baginya. Bunyi pintu berderit, perlahan-lahan menampilkan sosok rupawan dibalik daun pintu yang terbuka. Rani tersenyum dan segera menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Halo sayang, senang bertemu denganmu!”, sapa Mayang. Bajunya yang minim dan terkesan seksi dengan dandanan glamour terasa begitu kontras bersanding dengan papa yang berpenampilan sederhana dan bersahaja. Namun ditepisnya pandangan miring tentang Mayang, calon ibu barunya. Rani bergegas mempersilakan keduanya masuk dan mengantarkan ke ruang makan. Diperlihatkan pada Mayang sikapnya yang dewasa layaknya seorang tuan rumah menyambut tamu agung. Ia mendorong sebuah kursi dan meminta Mayang duduk diatasnya. Menuangkan orange jus ke dalam tiga gelas yang telah disediakan Bik Iyem. Dan percakapanpun mengalir sambil menyantap hidangan yang tersaji.
“Sayang, bagaimana kalau setelah makan siang ini kita ajak Rani jalan-jalan”, ucap Mayang pada papa, sedang yang diajak bicarapun hanya mengangguk setuju sambil tersenyum. “Bagaimana Rani, kamu maukan jalan-jalan sama tante?”, tanyanya dengan ramah. Rani tahu betul bahwa sikap yang dibuat-buat Mayang itu terkesan berlebihan, namun ia berharap Mayang akan menjadi istri yang baik bagi papanya walaupun barangkali dia bukan ibu yang baik untuk dirinya. Tiba-tiba ia teringat pada mama yang selalu tampil anggun dan sederhana, sosok wanita yang lembut dan keibuan. Bukan perempuan seperti Mayang yang manja dan suka kemewahan. Rani mendesah berat, barangkali ia tak pantas memberi penilaian demikian pada calon istri papanya, factor usia sepertinya juga turut berperan. Rani melihat garis keriput disekitar kantong mata papa yang hitam kian menunjukkan semakin matangnya usia papanya, sedang perempuan cantik disebelahnya itu terlihat masih muda dan sudah barang tentu usia keduanya terpaut cukup jauh.
Seperti rencana semula, Papa dan Mayang mengajak Rani jalan-jalan ke mall. Mayang tampak begitu antusias memilihkan model baju yang cocok untuk Rani dan tentu saja untuk dirinya sendiri. Sedang papa hanya diam mematung mengikuti keduanya bagaikan kerbau dicocok hidung. Wajah Mayang terlihat berseri-seri, senyumnya lebar karena dahaganya untuk berbelanja terobati. Rani hanya mengangguk setuju saat dipilihkan baju ini dan itu. Dia tak kuasa menolak pilihan calon mama barunya. Setelah beberapa jam memilih baju dan menyelesaikan pembayaran dikasir, papa mengantarkan Mayang pulang. “Mau mampir dulu nggak?”, Tanya Mayang yang direspons Rani dengan sopan.
“Sepertinya lain waktu saja tante, ini sudah terlalu malam. Tante pasti capek dan butuh istirahat!”, jawab Rani.
“Ok, kalau begitu tante masuk dulu ya, dada Rani…! Dada sayang…!”, timpalnya kemudian cipika-cipiki pada Rani dan papa. Mobil melaju dengan kecepatan sedang keluar dari halaman rumah Mayang ke arah jalan raya yang penuh sesak dan macet. Rani menyalakan MP3 dan memutar lagunya Adele dan someone like you pun mengalun lembut, memecah sepi.
“Sayang, papa boleh tahu bagaimana perasaanmu setelah bertemu dengan tante Mayang?”, Tanya papa tanpa menahan diri. Rani tetap memandang lurus kedepan, dia melihat para pedagang asongan dipinggir jalan yang menjajakan makanan, rata-rata mereka masih anak-anak. Dalam hati ia bersyukur diberikan materi yang cukup oleh Tuhan sehingga diusianya yang masih belia itu dia tidak perlu seperti mereka yang ada diluar sana, mengasong, demi sesuap nasi dan membayar biaya sekolah. Dia tahu kalau batas antara nasib baiknya dengan yang diterima para pengasong itu terlalu tipis, “Tuhan tidak akan memberi ujian yang tidak mampu dilalui oleh hamba-Nya!”, kata-kata itu keluar dari mulut Rani. Ia membuka pintu mobil dan melemparkan uang seribuan beberapa lembar ke arah pengamen malam. Terdengar sorak-sorai dipinggir trotoar berucap terima kasih padanya. Rani tersenyum simpul, kemudian memandang papanya dengan tatapan sulit diartikan.
“Apa?”, Tanya papa bingung dengan respon anaknya.
“Papa sudah yakin dengan keputusan yang akan papa ambil bukan?”, Tanya Rani seolah hendak memastikan.
“Tentu saja, sayang. Papa merasa cocok dengan tante Mayang, dan papa rasa dia juga menyayangimu!”, jawab papa mantap.
“Kalau begitu apa gunanya papa bertanya tentang pendapat Rani, toh tak akan mengubah semuanya. Jadi lakukan saja apa yang papa anggap baik untuk papa!”, jawab Rani lugas, tapi seperti peluru yang meluncur pada sasaran yang tepat. Teramat tajam dan barangkali menembus dada papanya. “Rani menyayangi papa, dan seharusnya papa tak perlu bertanya tentang apapun karena kebahagiaan papa adalah kebahagiaan Rani juga!”, lanjut Rani serius, dia bahkan terlihat lebih dewasa dari papanya.
“Terima kasih sayang!”, tukas papa diakhir kalimat, Rani hanya tersenyum dengan bijak. Dia tahu betul bahwa hidup, mati, jodoh, dan riski, semuanya ditentukan oleh Tuhan. Dan jika Tuhan telah berkehendak, tidak ada yang bisa memajukan atau memundurkan kuasa Tuhan. Dan karena itulah ia menerima Mayang sebagai istri papanya, bukan ibu bagi dirinya. []
*penulis adalah seorang ibu rumah tangga, seorang wirausaha, dan seorang penulis pemula yang bermaksud menerbitkan novelnya yang berjudul, “Dialektika Tuhan”.
By : Misesa Sari Widya susant
Mlati Norowito - Kudus