Friday, March 8, 2013

Mami Minta Pulsa ??



Hufth, selesai juga ngepack barang. Heran kenapa orangtuaku kemarin menelepon maksa banget mesti hari ini pulang kampung. Memang sih libur semester, tapi kok intonasi mereka seperti ada sesuatu hal yang aneh. Apa mereka ingin memarahiku karena 2 minggu lalu aku tidak sengaja memecahkan vas bunga mama? Tapi kan mama sudah memaafkannya. “Ada apa ini sebenarnya?”


Kunyalakan Tv 14’’ inch dikamarku untuk melihat Tv show jepang favoritku yang kali ini menyiarkan lomba memasak sebelum pulang kampung. Mataku terbelalak melihat para kokinya yang mirip dengan atlet-atlet badminton. Seakan Fu Hai Feng, Taufik Hidayat, Lin Dan, Lee Yong Dae, dan Daren Liew sedang lomba memasak .” Seolah-olah masakan koki cakep itu tercium oleh hidungku, cacing-cacing dalam perut bernyanyi untuk minta makanan. “Untung saja ibu Lurin sudah mengantarkan rantangan, kalau tidak bisa pecah perutku karena konser cacing-cacing dengan full bass.” gumamku.

Tak terasa ternyata sudah 2 piring nasi telah masuk kedalam perutku karena tertarik melihat makanan Taufik Hidayat dan Lee Yong Dae yang sama-sama menyajikan makanan dengan tema winter. Sungguh benar-benar mengejutkan karena biasanya 1 piring saja sudah hebat. “Andai saja kemenangan mereka ditentukan oleh polling SMS seperti halnya audisi vokal. Aku pasti akan mengirim 9 SMS buat Lee Yong
Dae dan 10 SMS buat Taufik Hidayat.Cara memasak mereka benar-benar mantap dan kreatif. Hmm ,, tapi ga ah acaranya di Jepang loh!! Bisa mampus aku kalau mengirim SMS buat vote mereka. 1 kali SMS memakan biaya Rp 1100. Kalau 19 SMS bisa kena Rp 21.900 aku. Ampuuunnn Dj, pulsaku aja masih bergantung sama orangtua.” Aku berbicara sendiri seperti orang yang kurang waras.

“Tok.. Tok..”
“Dilla....!!!!” terdengar suara wanita muda dari luar yang membangunkan tidurku.
Wah, ternyata aku tertidur sampai-sampai aku tidak menonton tema masakan apa selanjutnya yang akan dimasak koki-koki cakep itu. “Ini pasti disebabkan nasi 2 piring yang kumakan tadi + hembusan angin dari jendela ini.” gumamku. Dengan mata sayup dan menghiraukan suara dari luar kamar, kulirik kearah Tv untuk melihat  acara Tv champion yang hampir usai. “Tuh kan benar tebakanku, Lee vs Taufik difinal.” Lirihku.
“Horrey, masakan Taufik yang menang!! Yeah, dia memang pantas juara.” teriakku keras dari dalam kamar.
“Dilla Siregar,bukain pintunya dong. Aku sudah didepan kosmu ini!!”
“Eh Debby, mari silahkan masuk nyonya.”
“Sotoy. Ada apaan Di, tadi kok teriak kencang gitu?”
“Taufik Hidayat menang Deb.”
“Ha? Menang? Horeyy,, mantap!!” Teriak Debby kegirangan yang merupakan badminton lovers sama sepertiku. “Mana Taufiknya, aku pengen liat dia naik podium.”
“Maksudku mirip sama Taufik Hidayat Deb.”
“Sialan, aku da sempat senang.” Matanya beralih kelayar Tv. “Eh yang megang piala itu kau bilang mirip? Mirip darimana Di? Sudah perlu periksa mata ini kau sepertinya.”
“Beneran loh, kau ga liat kemiripannya? Dan sebelahnya itu mirip sama Lee Yong Dae.”
“Uda ah, aku ga mau berdebat. Telepon stasiun kereta api sekarang, nanti keburu habis tiket.”
“Ga ada bedanya ini anak sama orangtuaku, ntah apa yang mau dikejar.”. Kuraih handphoneku segera. “6610910, kring... kring..”
“Halo selamat siang, stasiun kereta api medan disini. Ada yang bisa dibantu?” salam seorang lelaki diseberang telepon.
“Siang pak, tiket kesiantar kelas ekonomi masih ada?”
“Maaf dek, kelas ekonomi sudah habis. Yang ada tinggal kelas eksekutif. Mau?”
“Ga pak, terimakasih.” Segera kuputuskan teleponnya karena kecewa.
“Nah kan, sekarang bagaimana kita kekampungmu?”
“Kita berangkat keamplas sekarang, naik bus menuju Siantar.”

Setelah kuberesi perlengkapanku dan mengunci kamar kos, aku dan Debby berangkat menuju amplas. Penumpang angkot yang terasa padat, cuaca yang panas, dan tidak lupa kemacetan juga turut menemani kami. Hmm, beginilah kalau orang Medan sekarang ini. Jalanan macet sudah sering menghinggapi kota ini. Belum lagi tadi waktu aku buka internet dikatakan bahwa saat ini Padang bulan sedang dilanda banjir yang menyebabkan banyak warga sulit untuk beraktifitas seperti semula.

“Kalian berdua turun dimana dek?” tanya supir angkot.
“Diamplas pak. Terminal bus menuju Siantar.” balasku senonoh.
Sudah terlihat senyuman amplas menyapa kami. Dengan membayar ongkos Rp 6000 aku dan Debby segera turun dari angkot dan menuju ke bus tujuan Siantar.
“Kemana dek?” tanya kernet bus tujuan Siantar.
“KeSiantar 2 orang bang.”
“Rp 34.000.” sang kernet pun memberikan karcis

Setelah mendapatkan karcis, aku dan Debby dengan segera naik kedalam bus. Kami sengaja memilih tempat duduk didepan agar lebih leluasa melihat kedepan tanpa ada kepala yang mengganggu. Bus pun meninggalkan terminal amplas.

“Kring.. Kring..” Kuambil handphone ku dari dalam tas. Dan ternyata papa yang menghubungiku.
“Halo, pa.”
“Halo, jadi kan kau pulang hari ini Dilla?”
“Iya pa, jadi. Ini Dilla sama teman lagi dijalan.”
“Kau bawa teman kerumah? Berapa orang Di?”
“1 orang pa.”
“Jadi da nyampai mana kalian?”
“Ini sudah dikebun karet pa, menuju siantar.”
“Kalian sehat kan?”
“Iya pa sehat.” Jawabku kebingungan. “Ada apa pa?”
“Oh, ga ada apa-apa. Papa cuma nanya aja. Ya sudah, hati-hati ya!”
“Iya pa.” Telepon pun terputus.

Kebingungan ku semakin menjadi-jadi dengan tingkah aneh kedua papaku. Mereka tidak seperti biasanya kalau aku sedang pulang kampung. Belakangan ini mereka kelihatan sangat khawatir dengan keadaanku. “Ada apa ini sebenarnya?” bisikku. Tidak sabar aku ingin menanyakannya secara langsung apa yang sedang terjadi kepada kedua orangtuaku.

“Rambung merah.. Rambung merah..”  sang kernet berteriak keras untuk mengingatkan penumpang yang ingin turun dirambung merah.

Kami menuju pintu untuk segera turun agar tidak ketinggalan angkot yang dibelakang bus ini yang tujuan melewati daerah rumah ku. “Rambung merah pak.”

Aku dan Debby segera turun dan melanjutkan perjalanan kami dengan sebuah angkot ke arah rumahku. Hatiku semakin terasa bimbang dengan keadaan seperti ini. Dag, dig dug seakan tak seirama detak jantungku kurasakan.

“Pinggir pak.” Kuberikan uang Rp 5000 kepada supir angkot sebagai ongkos kami.
Terlihat mama dan papa yang sedang duduk diteras rumah menunggu kedatangan kami. Muka mereka kelihatan tidak sesegar biasanya disaat menunggu aku kalau pulang kampung.

“Sore ma, pa!!”

Mama segera beranjak dari tempat duduknya dan memelukku dengan erat seakan sudah 10 tahun tidak bertemu denganku.

“Ada apa ma? Kita kan baru 2 minggu ga jumpa.”
“Ada yang menelepon papamu kalau kamu kecelakaan motor. Kamu terluka parah dibilang, jadi perlu harus dirawat di Rumah Sakit dan membutuhkan banyak biaya. Orang tersebut meminta uang agar dapat membiayai perawatanmu.”

“Jadi mama dan papa memberikan uang ke rekening orang tersebut?”
“Tidak, karena kami sudah meneleponmu kalau kamu tidak apa-apa.”
“Syukurlah. Sekali lagi jangan ditanggapin ma. Itu cuma orang iseng yang ingin mendapatkan uang dengan cara menipu. Jadi mengapa papa dan mama masih khawatir kalau sudah tahu kabarku lewat telepon? Oh ya ma, pa kenalin ini temanku namanya Debby.”

“Salam om, tante.” Mereka saling berjabat tangan.
 “Tetap saja, kami harus melihatmu agar kami puas kalau kamu memang tidak apa-apa.” Mama kembali memelukku. “Tapi mama sudah lega sekarang melihatmu. Kalian pasti sudah lapar kan? Sana makan dulu, mama masak enak hari ini.”

Aku dan Debby pergi menuju dapur untuk makan. Selanjutnya kami istirahat dikamar karena lelah selama perjalanan Medan-Siantar yang memakan waktu 3,5 jam.


By :  Loksa Restu Sianturi
Dolok panribuan - simalungun




Artikel Terkait:

0 Comments
Tweets
Komentar FB

0 komentar :

Post a Comment