Friday, January 25, 2013

Gadget and Love





Malam yang hening itu Anggi berbaring di atas bed-nya, dengan lampu yang tak begitu terang, hanya remang-remang sambil pandangannya yang berpusat pada bintang-bintang di langit sana, ia dapat melihat taburan cahaya indah itu dari jendela kamarnya yang bersampingan dengan tempat tidur dimana Anggi berbaring. Nampaknya Anggi sedang memikirkan sesuatu? Anggi...Anggi, ya itu lah dia, seringkali ia merenung sendiri, bahkan Tasya adik tunggalnya sekalipun tak pernah mengerti apa yang selama ini kakaknya pikirkan. Padahal menurut Tasya, sosok kakaknya itu adalah sosok yang sempurna. Gadis berusia 21 tahun itu adalah pemenang beasiswa di sebuah Universitas  Negeri terkenal di kotanya, dia juga cantik, tidak jarang banyak cowok yang mendekati Anggi, hanya saja ia selalu menutup diri dari para cowok yang mendekatinya, entah cowok seperti apa yang Anggi inginkan, jadi kurang apa lagi dia? 
Suara pintu kamar yang nyaris terbuka mengejutkan Anggi, hingga ia terbangun dari lamunannya,
“siapa disana?”  sahutnya dengan nada sedikit nyaring untuk memastikan, barangkali maling masuk kamarnya.
“kakak belum tidur?” sahut Tasya dari balik pintu sambil membukakan pintu kamar lebih lebar lalu masuk kamar Anggi dan mendekatinya.
“belum...sebentar lagi”
“kakak jangan keseringan melamun. Nanti setres loh kak..sebenernya kakak nih mikirin apa sih? Hampir tiap malam kakak melamun sebelum tidur. Kebiasaan buruk tahu kak...”  gadis SMA yang so tahu itu selalu menasihati kakaknya hampir setiap malam. Mengalahkan mami yang bahkan tak seketat itu memberi perhatian pada Anggi. Seperti biasa, lagi-lagi Anggi hanya tersenyum kecil melihat adiknya yang so dewasa itu.
“kamu ini...suka berlebihan! Iya, kakak sebentar lagi mau tidur kok. Kamu sendiri juga belum tidur?”
“Tasya mau tidur kok kak, tapi sebelum ke kamar Tasya pastikan dulu kalau kakak sudah tidur, eh...tapi ternyata belum juga....”
“iya, sudah kalau begitu kamu pergi duluan sana...!”
“oke....oh ya kak, obatnya sudah diminum?”
“sudah....cepat ke kamar sana...! bawel....!” usir Anggi sambil canda.
Tasya bergegas keluar meninggalkan kamar Anggi.
**
            Pagi-pagi sekali Anggi bergegas mengemasi laptop seperangkat nya bahkan lebih lengkap dengan surat-surat transaksi saat ia membeli laptop itu 3 tahun yang lalu. Anggi benar-benar terburu-buru, seperti khawatir akan ketahuan adiknya yang hobby meng-interogasi. Ternyata Anggi kurang bergegas, hingga Tasya kemudian datang menengok kamar kakaknya dengan seragam lengkap putih-abu.
“pagi kak....ayo kita sarapan....!”  Tasya tiba-tiba terkejut melihat kakaknya yang sudah bergaya dengan penampilan seolah akan pergi ke kampus, padahal si gadis yang intense itu tahu bahwa hari ini Anggi tidak ada jadwal kuliah.
“kakak....mau pergi kemana?”
“eu....eummmm....ke rumah temen sya, mau ngerjain tugas.”
“ngerjain tugas? Bawa perlengkapan laptop kakak selengkap itu?”
Pertanyaan Tasya yang membuat Anggi sedikit agak kesal. Kenapa sih aku harus punya adik se bawel dia? Batinnya.
“ya....memanggnya kenapa? Gak boleh? Terserah kakak donk, ini kan laptop punya kakak.”
“iya sih, gak apa-apa.. tapi aneh aja gitu gak kayak biasanya, biasanya kak Anggi kan gak suka ribet.”
“ahh...sudahlah...cepat pergi sana! sudah siang, kesiangan baru tahu rasa!”  Tasya kemudian pergi bahkan tanpa pamit.
Hhhhh....syukurlah, si bawel sudah pergi. Jadi aku lebih tenang untuk menjalankan rencana ku hari ini. Sahut Anggi dalam hati.
Maafkan aku lepy....aku terpaksa melakukan ini. Sebenarnya ini adalah pilihan terakhir ku. Aku gak punya benda berharga apapun lagi selain kamu. Sebenarnya aku sangat sedih harus menjual kamu. Kamu adalah sahabat setia ku selama ini. Tapi....apa boleh buat, aku gak punya pilihan lain. Kalau bukan untuk biaya berobat ku, aku tidak akan menjual kamu. Aku gak tega lihat mami terus-terusan mengeluarkan uang hanya untuk berobatku, sementara Tasya juga butuh biaya untuk keperluan sekolahnya dan lain-lain, semoga hasil penjualan mu bermanfaat hingga dapat menyembuhkan ku lepy...dan aku berharap semoga sahabatmu yang baru bisa merawatmu dengan baik, sebaik aku selama ini telah merawatmu.
Batin Anggi sambil menatap laptop kesayangannya sebelum akhirnya ia pergi meninggalkan rumah menuju toko komputer tempat dimana dulu ia membeli laptopnya itu.
**
            Hujan belum juga berhenti sore itu, petir semakin keras saja mengeluarkan suaranya di luar sana.
“kakak.....mami belum pulang ya kak? Kak.....kakak dimana? Kakak lagi tidur? Lihat nih kak, baju ku basah kuyup kehujanan. Kak Anggi....”  teriak Tasya saat baru pulang sekolah. Ia mencari Anggi yang sejak ia pulang keadaan di rumahnya begitu sepi. Tasya mencari Anggi ke kamar dan ia sungguh terkejut saat melihat anggi  terbaring di lantai.
“kakak....? kakak tidur atau.....” Tasya menghampirinya, dan rasa terkejutnya semakin bertambah saat ia melihat hidung Anggi berdarah.
“ya Tuhan...kakak pingsan. Kakak....bangun kak....kakak kenapa...?” jelas keadaan Tasya sangat panik saat itu, ia bingung harus berbuat apa. Sementara dirumahnya tidak ada siapapun selain mereka berdua. Minggu lalu pembantu di rumahnya dipulangkan karena mami sudah tak sanggup membayarnya dan mami masih kerja, mami biasa pulang dari kantor jam 5 sore. Disaat keadaan yang panik itu, Tasya melakukan berbagai cara untuk meminta tolong. Hingga akhirnya Tasya berusaha menelpon mami.
“hallo mami.....? mi...ini Tasya mi, mami cepat pulang ya...kak Anggi mi...kak Anggi.....”  sahutnya benar-benar cemas begitu mami mengangkat teleponnya.
“ada apa Tasya? Kamu panik gitu, apa yang terjadi? Kakak mu kenapa?”
“mi....kak Anggi pingsan mi...dan hidungnya berdarah...”
“ya Tuhan....Anggi...Anggi sakit lagi? Kita harus bawa dia ke rumah sakit secepatnya sya, kamu tenang mami segera pulang. Sekarang, kamu coba telpon ambulan ya nak...”
Tuuuuttt...tuutt...tuuuuuutttt.......
            Sesampainya di rumah sakit, Anggi belum juga sadar, ia masih berbaring lemah dengan jarum infus yang menancap di lengan kirinya, sementara mami dan Tasya, mereka dengan setia menunggu Anggi, meski keadaan mereka sangat terpuruk.
**
Di waktu yang sama namun tempat dan keadaan yang berbeda, seorang lelaki usia sekitar 22 tahun dengan baju yang sedikit basah akibat hujan, ia masuk  ke toko komputer bersama ayahnya,
“gak usah beli yang baru yah, kalau terlalu mahal sayang....lagipula Tristan tahu ayah gak punya uang begitu banyak untuk membeli laptop baru. Saat ini Tristan butuh laptop untuk mulai menyusun skripsi yah....itu sih yang buat Tristan memaksa ayah belikan laptop.”
“Yang bekas pun tak apa yah, yang penting masih bisa dipakai kan...?”  tambah pemuda itu menawar pada ayahnya.
“hmmm....kasihan sekali kamu nak, tapi kamu benar ayah memang tak bawa cukup banyak uang untuk belikan kamu laptop baru saat ini. Dan kalau kamu tidak keberatan membeli laptop bekas, baiklah untuk sementara. Nanti kalau ayah sudah punya uang ayah ganti dengan yang baru ya nak...”  Tristan mengangguk.
“selamat sore pak....ada yang bisa kami bantu?”  sapa pelayan toko komputer itu saat Tristan dan ayah tengak-tengok melihat laptop-laptop  yang terpajang di toko komputer lengkap itu.
“ini mas, anak saya butuh laptop. Kalau ada, harganya yang tidak terlalu tinggi mas, yang biasa saja ada gak?”
“kalau saja saat itu maling gak masuk ke kamar Tristan yah, mungkin gak harus kita beli laptop second.” keluh Tristan dalam hatinya.
 “kalau yang baru, harga laptop di sini hanya ada dari 6 juta ke atas pak...kalau harganya yang agak miring ada notebook sih pak, yang 3 jutaan paling murah disini, bagaimana pak?” tawar pelayan toko itu.
 “kalau mas butuh laptop yang harganya agak miring ada sih, tapi second mas. Masih bagus kok, malah baru dijual oleh pemiliknya kesini tadi pagi.”
“oh ya? Coba saya lihat mas...” pinta Tristan.
Pelayan toko itu menunjukan laptop second yang ia tawarkan. Setelah beberapa saat Tristan dan  ayah berunding dan melihat-lihat keadaan laptop second itu, ternyata memang masih sangat bagus, hingga akhirnya Tristan memutuskan untuk membeli laptop second itu.   
**
            Malam pertama dengan laptop baru, Tristan mulai membuka laptop itu. Saat Tristan membuka document dalam laptop nya, ada 1 file tersisa yang belum terhapus berjudul “You and Me”. Awalnya Tristan ragu untuk membuka file itu, tapi karena penasaran akhirnya ia nekat untuk membuka file tersebut.
            “Lepy...aku tidak tahu harus pada siapa lagi aku bercerita, hanya kamu sahabat setia ku yang selalu bersedia mendengar semua keluh kesah ku. Takdir seringkali dijadikan alasan dalam hidup siapapun, ya...termasuk aku. Tapi andai saja takdir bisa memutar waktu ke saat 4 tahun yang lalu, saat itu....saat yang tak pernah bisa ku lupakan. Dimana Tristan benar-benar meninggalkanku dengan nyata, dan untuk selamanya. Bahkan mungkin ia tak akan pernah sudi memaafkan ku. Dimatanya aku yang bersalah, menjadi tersangka dalam kecelakaan Sarah yang mengakibatkan kakinya lumpuh permanen. Hingga semua orang menyalahkanku terkecuali mami dan Tasya. Saat itu juga dimata semua orang aku adalah manusia paling jahat, namun Tuhan....aku tahu Engkau maha melihat. Demi apapun aku bersumpah tidak melakukan itu. Saat ini aku tak bisa berbuat apapun untuk memperbaiki keadaan agar Tristan memaafkanku, bahkan sekalipun aku berlutut meminta maaf dihadapannya, semua itu tak akan pernah merubah dia untuk memaafkanku. Sesungguhnya aku tak menginginkan lebih. Tak menginginkan ia kembali menjadi pacarku, tak menginginkan Tristan putus dengan Sarah, atau apapun itu. Aku hanya ingin Tristan tidak membenci ku lagi, dan ia tahu bahwa bukan aku yang melakukan semua itu. CUKUP! Hanya itu. Oleh sebab itu, aku percaya bahwa takdir bisa menyampaikan aku pada segala keadaan apapun yang tak pernah aku duga sebelumnya. Tasya, hanya dia satu-satunya saksi bahwa kecelakaan yang menimpa Sarah 4 tahun yang  lalu itu murni kecelakaan bukan karena siapapun. Saat Sarah kecelakaan, saat itu pula aku baru pulang dari tempat kursus, bahkan pulang bersama Tasya. Mengapa semua tak ada yang percaya? Mengapa Tristan tak percaya padaku? Padahal dia mengenalku sangat dekat. Tapi  apa boleh buat, semua orang tahu Tasya adik ku, maka segala penjelasannya tak ada seorang pun yang percaya. Cerita palsu yang dibuat Sarah saat itu nyatanya lebih membuat semua orang percaya dari kejujuran yang aku dan Tasya katakan.          
Tuhan....kalau saja Kau harus menghentikan waktu bagiku, dan Takdir ku cukup sampai saat ini, hanya 1 yang aku minta. Buktikanlah sebuah kebenaran dimata Tristan bahwa aku tidak bersalah.....”
Catatan itu teruntai panjang dalam sebuah lembaran dalam file laptop yang baru saja Tristan beli, dan ia baru sadar bahwa laptop yang ada di tangannya itu adalah milik Anggi, mantan pacarnya saat SMA dulu yang hubungannya sempat complicated.
Mendadak perasaan Tristan kacau sangat tak karuan. Dia bingung harus bagaimana, segala perasaan bersalah menyelimuti hatinya. Tristan memutuskan mencari Anggi untuk minta maaf.
Esok harrinya.....
Pagi yang cerah itu mengantarkan Tristan ke rumah Anggi. Namun tak ada seorangpun yang membuka pintu rumah bergaya minimalis itu. Kebetulan seorang gadis tetangga sebelah Anggi mengahmpiri Tristan.
“maaf mas, cari siapa ya?”
“eh....mba, saya bingung mau cari teman saya yang tinggalnya di rumah ini. Tapi kok sepertinya rumahnya kosong ya mba?”
“memang siapa temannya mas? Mba Tasya apa mba Anggi? Mereka semua memang sedang tidak ada di rumah sejak kemarin mas...”
“teman saya Anggi mba, kalau boleh tahu memangnya lagi pada pergi kemana ya?”
“wah...memangnya mas gak tahu ya kalau kemarin sore mba Anggi dibawa ke rumah sakit? Pakai mobil ambulan segala loh mas, mba Anggi sepertinya sakit parah...dengar-dengar sih, sampai pingsan.”
“Apa? Anggi lagi di rumah sakit? Sejak kemarin? Di rumah sakit mana ya mba? Saya ingin kesana.”
“yang saya tahu mba Anggi dirawat di rumah sakit PELITA mas...”
“oh..begitu ya, kalau begitu saya permisi dulu mba..terimakasih informasinya....”
Dengan perasaan yang campur aduk Tristan segera menuju ke rumah sakit dimana Anggi dirawat.
            Hingga akhirnya Tristan sampai di Rumah sakit. Saat beberapa meter dari ruang rawat Anggi, ia bertemu dengan Tasya. Tasya terkejut tidak terkira melihat sosok Tristan yang sangat ia benci yang setelah sekian lama tidak pernah lagi menampakkan diri dihadapannya maupun Anggi.
“kamu.....??”
“Tasya.....Tasya, dimana Anggi?” tanya Tristsan dengan segera menghampiri Tasya. Namun sayang, seorang gadis yang sangat mencintai kakaknya itu justru mendorong Tristan saat ia mendekat.
“mau apa kamu kesini? Kak Anggi gak butuh cowok macam kamu!”
“Tasya plis....aku ingin bertemu Anggi, aku mau minta maaf sama dia....aku mohon Tasya....!”
“hhh...minta maaf? Orang buta kayak kamu memangnya punya niat buat minta maaf? Jangan harap kamu bisa menampakkan wajahmu lagi di depan kak Anggi, yang ada dia akan semakin sakit. Sayang, sepertinya permintaan maaf kamu trlambat!”  cibir Tasya.
“sya, aku tahu aku salah...oleh karena itu izinkan aku bertemu Anggi untuk minta maaf sya...aku mohon.....” Tristan hampir berlutut di hadapan Tasya, namun tak lama kemudian mami datang. Melihat aktifitas Tasya dan Tristan yang sedang berdebat membuat mami heran begitupula mami tidak menyangka dengan kedatangan Tristan yang secara tiba-tiba setelah sekitar 4 tahun menghilang.
 “Tristan...? kamu...apa yang kamu lakukan untuk berlutut sama Tasya?” tanya mami heran.
“lihat mi....! dia tiba-tiba datang mau jenguk kak Anggi! Dia benar-benar tidak tahu malu, setelah 4 tahun lalu dia memojokan kak Anggi dengan sadisnya, demi membela pacarnya yang pembohong itu mi, sekarang dia tiba-tiba datang. Dia bilang mau bertemu kakak? Manusia macam apa dia mi?”
“Tasya, mengapa kamu seperti itu nak?”
“bagaimana Tasya tidak membenci orang ini mi, dia sudah buat kak Anggi tersiksa selama 4 ini. Bahkan mungkin juga selama ini kak Anggi sering melamun sampai sakit-sakitan karena memikirkan fitnah yang menimpanya dulu. Gara-gara orang ini!”
“sabar sayang....mami ngerti perasaan kamu. Tapi kamu jangan bersikap seperti itu sama Tristan. Setiap orang pasti pernah khilaf, dan Tristan adalah salah satu diantara manusia yang pernah khilaf. Kalau niat dia baik, untuk minta maaf sama kak Anggi, kenapa harus dilarang? Biarkanlah...”  mami berusaha menenangkan Tasya.
“Masuklah ke dalam nak, Anggi sedang tidur, ia baru sadar tadi malam. Kalau kamu ingin mengatakan sesuatu padanya, katakanlah pelan-pelan, jangan buat Anggi terkejut dengan kedatangan mu.”  Pinta mami pada Tristan, dan Tristan masuk ke ruang rawat Anggi seperti yang ia inginkan sejak tadi.
Tasya masih nampak khawatir, kalau-kalau Tristan membuat ulah yang tidak-tidak pada kakaknya.
            Anggi, aku sungguh menyesal. Benar apa kata Tasya, aku manusia buta yang tidak pernah bisa melihat sebuah kejujuran. Meskipun kamu tidak melihat aku disini, tapi aku percaya hati kamu bisa merasakan keberadaan aku. Sekali lagi aku minta maaf gi...aku sudah buat kamu tersiksa karena fitnah Sarah. Sekarang aku tahu kamu tidak bersalah. Aku mohon cepat sembuh gi dan maafkan aku....
            Suara Tristan nyaris terdengar oleh Tasya dan mami yang sengaja menguping dari balik pintu. Tak lama kemudian Anggi perlahan membuka mata, seakan ia sudah tahu kalau Tristan ada disampingnya.
“Tristan...aku senang sekali kamu disini. Aku pikir, aku tidak akan bisa lagi melihatmu. Kamu sudah maafin aku tan?”  suara Angggi yang masih lemah membuat Tristan merasa agak lega dan senang.
“Anggi..?.kamu bangun..? tidak, aku yang harusnya minta maaf. Maafin aku gi...”
“sudahlah tan, lupakan semua itu. Aku sudah merasa senang melihat kamu sekarang ada di sini dan sudah maafin aku.”
“kemarin, kamu menjual laptop kamu ke sebuah toko komputer gi?”  tanya Tristan tiba-tiba.
“iya, kamu tahu darimana?”
“aku, aku yang membelinya. Aku yang membeli laptop kamu, dan panjang ceritanya sampai akhirnya aku membaca cerita kamu yang tersisa di sebuah document. Dan dari situlah aku tahu semua yang sebenarnya gi. Aku bodoh.maafin aku...”
“oh ya? Hhh...lepy...lepy, dia memang gadget yang canggih, bukan hanya selalu menemaniku selama ini, membantuku menyelesaikan tugas, yang selalu bersedia mendengarkan keluh kesahku, bahkan sampai saat ia bukan milik ku lagi,
dia bisa-bisanya mengantarkan kamu ke depan mataku,tan...”  Tristan tersenyum kecil mendengar jawaban Anggi.
Segalanya akan berubah melalui proses, seiring berjalannya waktu. Dan sampai kapan pun tak akan pernah ada yang bisa merubah bahwa kebenaran akan selalu terbukti, meski kebenaran akan terbukti dalam 4 tahun atau bahkan waktu yang lebih panjang sekalipun.

By : Amy Ammoura Tjeezty
Singasari - Singaparna




Artikel Terkait:

0 Comments
Tweets
Komentar FB

0 komentar :

Post a Comment