Saturday, March 9, 2013

Agus 'n The Backboys (Si Manis Jembatan Gantung)



Siang hari itu, Agus Cs sedang pada asik ngumpul di warung makan baru. Tempatnya di dekat stasiun kereta di sebelah sekolah mereka. Disana rupanya nggak hanya sedang ada Agus Cs, Eboy anak asli tegal yang sekelas sama Agus juga lagi ada disitu. Juga ada Riri yang kecentilan. Lalu Nurul yang nggak sombong walaupun dia anaknya Pak Samsidar, yang secara seorang walikota. Dan yang terakhir ada si Lusi yang setengah bule setengah siluman.. Eh, maaf! Maskud gue setengah Indo alias blasteran.

Mereka semua lagi rame makan disitu. Soalnya tempatnya luas dan bersih. Juga karena harga makanan di situ murah meriah. Bayangin aja, bakso yang biasa di kantin mereka harganya empat ribu, disini cuma tiga ribu sembilan ratus doang. Terus es cendol yang di sekolah mereka biasanya seribu limaratus dapet setengah gelas. Disini bisa dapet tiga perempat gelas. Apa nggak hebat tuh?????!
Tapi rute buat ke tempat ini yang sebenarnya jadi masalah. Soalnya kalau dari sekolah mereka, terus mau ke warung itu. Cuma ada satu jalan dan itupun harus melewati sebuah jembatan gantung. Mana di bawahnya mengalir sungai yang lumayan deras lagi. Apalagi jembatan itu udah agak tua dan angker. Makanya mereka agak risih juga kalau mau kesitu.

Nah, besoknya Imdad yang lagi kepingin banget makan di tempat itu, nggak dapet temen buat kesana. Soalnya temen-temen yang lain lagi pada sibuk punya acara sendiri. Kayak si Agus dan si Erik, yang sepulang sekolah harus nyapuin halaman sekolahnya. Gara-gara tadi pagi dia ketahuan bolos sama pak Ro’is. Dia itu guru olah raga yang sok galak, gara-gara dia juga menjabat menjadi wakasek. Juga Joko yang nggak bisa ikut gara-gara harus nganterin si Ngay. Ngay rupanya mau ikutan kesting model iklan makanan kucing. Riri dan Nurul juga nggak bisa ikut. Soalnya mereka mau ikutan lomba MD (Makan Dodol) di deket rumah mereka.

Terpaksa Imdad kesana sendirian. Sebenarnya buat kesana cuma makan waktu lima menit kok. Dari sekolahnya cuma harus jalan ke arah belakang sekolah. Ngelewatin kebon bambunya pak penjaga sekolah. Terus nyebrangin jembatan gantung dan udah.. nyampe deh. Nah waktu nyebrangin jembatan ini nih yang rada-rada ngeri! Tapi waktu Imdad mau lewat situ. Ternyata dia ketemu sama cewek cantik, yang juga berseragam SMA Laskar Ilmu. Tapi rasanya udah setaunan lebih Imdad sekolah disana. Tapi dia nggak pernah ngeliat cewek itu. Waktu Imdad lagi melirik-lirik ke arah cewek itu, dia malah menoleh dan tersenyum. Imdad yang disenyumin sama cewek cantik langsung naik pedenya dan dengan gagah berani menyapanya.

“Hai.. anak SMA Laskar Ilmu juga? Kok nggak pernah liat?” tanya Imdad.
“Masa? Gue juga nggak pernah liat lo.”
“Lo kelas mana?”
“Kelas 2 IPA 7.”
“Masa sih biarpun gue anak IPS.. tapi aneh juga. Perasaan semua cewek di sekolah yang cantik-cantik udah pernah gue temuin deh,”
“Lo lupa kali sama gue.”
“Ya, mungkin juga sih.” lalu cewek itu melanjutkan perkataannya.
“Yaudah, kenalan dulu deh. Gue Dimas Beck.”
“Dimas?”
“Iya! Nggak percaya? Tapi memang, di sekolah saya biasa di panggil Imdad. Nggak tau juga sih kenapa mereka manggil saya Imdad. Tapi demi kebaikan kamu ikut umum aja. Panggil gue Imdad.”
“Hehe..lo lucu. Gue Dira.”
“Dira siapa? Dira..yu cowok?” Kata Imdad mencoba merayu Dira.
“Bisa aja lo.”
“Mau kemana?” Tanya Imdad.
“Mau pulang.” Jawab Dira singkat.
“Mau nggak kita mampir dulu ke warung nasi di depan situ.” Ajak Imdad sambil menunjuk warung yang ada di seberang jembatan gantung itu
“Ehm..boleh deh,”
“Siiplah!”
Imdad yang akhirnya impiannya bisa tercapai ‘makan bareng sama cewek cantik’ dengan semangat kemerdekaan langsung mengajak Dira ke warung itu.
“Mau pesen apa, Ra?”
“Minum aja ah..es kelapa muda aja.”
“Nggak makan? Mumpung lo bayar sendiri.” Imdad lagi-lagi berusaha menarik perhatian Dira. Biarpun lawakannya jayus melulu.
“Yee..kirain mau bayarin.”
“Sori..biar cakep gini gue sering banget lupa bawa uang. Paling secukupnya buat jajan.”
“Alesannya segudang. Hehe..” Dira terkekeh, mendengar perkataan Imdad yang naudzubillah nggak ada matinya.
“Bu..pesen nasi lengko sama es kelapa mudanya dua ya.”
Mereka terus mengobrol seperti itu, sampai akhirnya Dira meminta pulang.
“Sori..gue harus pulang, Dad.”
“Buru-buru?”
“Iya soalnya udah sore. Yaudah gue pulang yah. Ini uang buat es-nya.”
“Nggak usah biar kali ini gue yang traktir.”
“Lo baik banget sih?!” Dira tersenyum lalu pergi keluar dengan terburu-buru. Imdad mengikutinya keluar.
“Mau di anterin nggak?”
“Lain kali aja yah.” Dira melambaikan tangannya dan terus berlari menjauh. Imdad dengan berat hati harus merelakannya pergi. Dia juga ikut beranjak pergi tapi teriakan Bu Endang yang empunya warung menyadarkannya.
“Woooy! Makanan belum bayar nih!”
“Ngutang dulu bu!” dan tanpa persetujuan yang punya warung, dia langsung kabur.
Besoknya sepulang sekolah. Imdad lagi-lagi ke warung nasi seberang jembatan itu sendirian. Tapi kali ini dia sengaja nggak mau ngajak temen-temen, soalnya dia mau ketemuan lagi sama cewek cantik yang kemarin siang. Dia sampai bela-belain nunggu di depan jembatan itu sampe setengah jam. Dan akhirnya Dira datang juga.
“Hai.” sapa Imdad sok lembut.
“Hai juga. Lagi ngapain disini sendirian?”
“Lagi nungguin kamu.”
 “Ngapain nunggu aku?"
“Ehm..gimana ya ngomongnya. Mm…kamu mau nggak temenin aku jalan-jalan?”
“Maksudnya, Jalan-jalan gimana?”
“Ya jalan-jalan di sekitar sini aja. Mau kan?”
“Boleh kalo cuma gitu aja. Tapi jangan macem-macem ya!”
“Tenang Ra, biar tampang gue gini tapi nggak ada tampang penjahatkan? hehe..”
“Nggak ada sih. Tapi tampang perampok iya. Haha..”
Mereka berjalan ke sekitar stasiun kereta sambil terus bercanda. Imdad juga sempat memberi beberapa plesetan gila.
“Lo juga punya tampang jambret kok, Dad. Hehe..” Rupanya mereka masih membahas soal mukanya si Imdad.
“Jambret? Jambret itu mantan suamninya Dewi Persikkan?”
“??”
“Itu loh.. Saeful Jambret.” Jawab Imdad.
Dira langsung tertawa dengan lepas. Tapi masih ada lagi plesetan gila darinya.
“Tau nggak siapa penyanyi yang jamnya sering hilang?”
“Ehmm..siapa ya? Emang ada?” Dira kebingungan.
“Ada.. Mulan Jam Ilang!”
“Jamilah kalii. Oke Dira juga punya. Siapa artis yang nggak suka pakai sepatu?”
“Ahh..gampang itu mah, Imdadkan rajanya plesetan. Pasti.. Marsandal!(Plesetan dari Marshanda).”
“Iih..bisa aja kamu, Dad.”
Sambil duduk di salah satu gerbong kereta yang nggak terpakai, mereka terus saja bercanda sampai akhirnya hari mulai sore.
“Dad..makasih ya buat hari ini. Kamu udah bikin aku seneeeng banget, dan yang terpenting..kamu udah buat aku nggak kesepian lagi.”
“Sama-sama. Padahal harusnya gue yang bilang makasih, soalnya Dira udah mau nemenin Imdad kemana-mana seharian ini.”
Dira hanya tersenyum sebelum menjawabnya.
“Tapi Dad..mungkin ini terakhir kalinya kita ketemu.”
“Loh? Kenapa!” Imdad kaget setengah mati.
“Soalnya Dira bakal pergi jauh dari sini, Dad.”
“Kemana? Kamu mau pindah sekolah?”
“Yang jelas tempatnya jauh.. jauuh banget dari sini. Tapi karena kamu Dira bisa pergi dengan perasaan senang dan nggak kesepian lagi.”
“Tapi Dir, baru aja gue nemuin temen yang asik kayak lo. Udah harus kehilangan lagi?”
“Maaf Dad, Dira harus pergi. Tapi mungkin Dira bisa kasih sesuatu sebelum Dira pergi.”
“Apaan?”
Tiba-tiba Dira mendekatkan wajahnya ke wajah Imdad. Lalu mencium pipi Imdad.
“Dir..” Imdad nggak bisa berkata apa-apa. Ini pertamakalinya dia di cium sama cewek cakep. Biarpun dia udah kelas dua sma (maklum nggak laku. Hehe..)
“Dira pergi dulu yah. Sekali lagi makasih ya Dad. Kamu orang yang baiik banget.” Setelah itu Dira pergi menjauh.
 “Dira!!!” Imdad mencoba memanggilnya. Tapi Dira terus berlari sampai nggak bisa lagi dilihat oleh Imdad, karena tertutup oleh tembok stasiun.
Besoknya, lagi-lagi Imdad menunggunya di jembatan gantung. Tapi sampai sore Dira nggak lagi datang. Besoknya lagi Imdad masih mencoba menunggu kedatangan Dira. Tapi lagi-lagi dia nggak kunjung datang.
Lalu di hari ke tiga dia mencari-cari Dira ke kelas 2 IPA 7. Namun nggak ada satupun yang mengenal Dira. Bahkan mendengar saja baru sekarang. Dia lalu melanjutkan pencariannya dan bertanya ke staf Tata Usaha.
“Bu saya mau nanya soal data murid sini bolehkan?”
“Buat apa kamu?” tanya Bu Rukmayah yang lebih sering di panggil Bu Ruk.
“Saya mau nyari seseorang Bu.”
“Siapa?”
“Namanya Dira.”
“APA?! Di..Dira siapa?” Bu Ruk seolah kaget mendengar nama Dira.
“Kurang tahu bu..yang jelas namanya Dira. Dia sih bilangnya anak 2 IPA 7 bu. Tapi saya cari nggak ketemu.”
“Ehm..ayo duduk dulu.” Bu Ruk terlihat tegang.
Bu Ruk mengajak Imdad duduk dulu di kursi ala kadarnya. Sedang Bu Ruk seperti mencari-cari sebuah arsip murid. Setelah dia menemukannya dia duduk di sebelah Imdad.
“Apa dia yang kamu maksud, Dad?” tanya Bu Ruk sambil menunjukkan foto Dira.
“Nah..iya ini Bu!” Imdad girang.
“Kok kamu bisa kenal dia?”
“Gini bu..empat hari yang lalu saya ketemu sama dia. Di jembatan gantung di belakang sekolah kita bu.”
“Jangan bercanda kamu!”
“Kok bercanda? Saya serius bu.”
“Jadi bener kamu ketemu dia empat hari yang lalu?”
“Iya bu.” jawab Imdad mantap.
“Begini, Dad. Kalau kamu ketemu dia empat hari yang lalu itu aneh..soalnya..”
“Iya?”
“Mm.. Dira memang pernah jadi murid sini sekitar dua tahun sebelum kamu masuk ke sini Dad. Dia itu anak yang pintar, cantik, dan baik. Tapi sayang waktu dia kelas dua dia...”

“Kenapa bu?!” Imdad semakin penasaran.
“Dia kecelakaan sewaktu dia mau pulang, saat dia menyebrangi jembatan gantung itu. Dia terpleset dan akhirnya jatuh ke sungai. Kamu tahukan sungai itu arusnya deras. Dira yang tidak bias berenang akhirnya terbawa arus dan tenggelam, sampai akhirnya sehari kemudian dia baru ditemukan dalam keadaan meninggal.”

“APA?!! Meninggal? Mana mungkin..Jadi..yang saya temuin siapa??”
“Ibu nggak tahu. Mungkin yang kamu temuin itu… Loh?! Dad..Dad..bangun!”
Imdad langsung pingsan seketika, dengan pose terbaik yang bisa dia buat di atas kursi ala kadarnya itu.

By : Zulfikar Habiburrahman
Cirebon




Artikel Terkait:

0 Comments
Tweets
Komentar FB

0 komentar :

Post a Comment