Dia ingin melihat wajah Izrail yang tersenyum ketika kematiannya tiba.
Bayangan itu semakin jelas. Dia bisa melihat bayangan itu meskipun orang lain tidak bisa melihatnya. Bayangan putih yang terkadang berwajah ramah, penuh senyum, dan tawa. Ketika itu, wajah bayangan, putih dan bersih. Pakaiannya juga putih; jubah panjang lengkap dengan sorban. Wajah itu akan menatap orang-orang yang disayangi Tuhannya, orang-orang yang hidup mulia di dunia. Rajin bersujud dan menangis penuh ketulusan dalam hati mereka. Mereka akan meninggal dengan menyungging senyum kebahagiaan.
Namun terkadang, atau lebih sering menurut pengamatan Sarah, wajah itu akan menjadi garang dan bengis. Wajah merah bercampur hitam dengan rambut panjang dan lebat. Tubuhnya bak raksasa yang siap menerkam. Tidak ada keteduhan, tidak ada ketenangan, kelembutan, dan kebahagiaan dalam matanya. Sebagai gantinya, orang-orang yang berbuat buruk di dunia harus siap menerima murka Tuhannya. Mereka akan pergi dengan tidak terhormat, dengan mata membelalak menatap panasnya neraka dan wajah memerah penuh duka.
Ya. Bayangan yang dilihat Sarah adalah Izrail, sang malaikat maut.
Setiap kali Izrail lewat di depannya, Sarah tidak bisa menahan diri. Tanpa sepengetahuan Izrail, Sarah akan mengikutinya dan mencari tahu, nyawa siapakah yang dia jemput. Jika belum bertemu dengan si sakaratul maut, Izrail tampak bercahaya. Namun dia akan lebih bercahaya jika bertemu tamu Tuhan yang dimuliakan. Sebaliknya dia akan berubah mengerikan jika menjemput sang durhaka dari dunia.
Dalam hati, diam-diam, Sarah sangat kagum. Bukan hanya kagum pada kemampuannya melihat sang malaikat, tapi lebih-lebih pada sosok malaikat Izrail. Semua orang takut pada kedatangannya, takut dia akan menjemput mereka, takut pada kematian. Padahal menurut Sarah, Izrail terlihat menyenangkan. Dia akan tersenyum sangat ramah dan teduh pada tamu-tamu Tuhannya. Senyuman dan keteduhan yang mampu membuat jiwa-jiwa itu merasa bahagia, sehingga seakan-akan mereka lupa akan bertemu dengan kematian dan meninggalkan dunia fana. Senyum yang diiringi kata-kata penyejuk jiwa akan menjadi penghibur duka karena meninggalkan orang yang mereka sayang. Senyuman itu pula yang membuat mereka menyambut kematian sebagai teman lama, sangat akrab dan bersahabat.
Ini gila, pikir Sarah. Dia tidak mungkin mengagumi sosok Izrail. Apakah ini artinya dia ingin mati? Tidak. Dia tidak ingin cepat-cepat mati. Bagaimana kalau Izrail menemuinya dengan wajah yang menyeramkan? Tidak, dia tentu tidak ingin melihat wajah itu.
Dia ingin melihat wajah Izrail yang tersenyum ketika kematiannya tiba.
Tapi bagaimana caranya?
Tentu Sarah sudah tahu caranya. Cara untuk bertemu sang malaikat yang menyungging senyum adalah dengan menjadi tamu Allah di syurga. Tamu yang akan disambut para malaikat dengan wajah kagum dan bangga. Tamu yang akan disambut sang nabi dengan wajah berseri-seri....
Mata Sarah menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru pucat. Jika dia memang serius mempersiapkan bekal kematiannya dia harus mulai dari sekarang. Dia tidak boleh menunda-nunda lagi. Dia harus secepatnya meninggalkan kehidupan glamour yang bermewah-mewah, kehidupan elit yang suka hura-hura, dan semua kehidupan yang fana.
Pikiran ini telah mengganggu Sarah sejak lama. Sejak dia bisa melihat Izrail setahun lalu, dia semakin sering merenung tentang kehidupan. Kecelakaan mobil yang hampir merenggut nyawanya setahun lalu-lah yang membuatnya bisa melihat Izrail dengan jelas. Awalnya dia ketakutan karena mengira Izrail menampakkan diri untuknya, untuk menjemput dirinya. Terlebih saat itu, Sarah berada di tengah-tengah antara manusia dan budak nafsu. Dia tidak ingin Izrail menemuinya. Tidak pada waktu itu.
Namun akhirnya dia mengerti kalau waktunya belum tiba. Izrail belum menatap matanya, mendatanginya...
Tentu saja ayah dan ibunya tidak tahu tentang kemampuannya ini, karena mereka tidak pernah mengajaknya bicara sejak bangun dari koma. Mereka hanya mengucapkan ‘selamat pagi’ dan ‘selamat malam’.
Sarah terjaga sepanjang malam. Dia ingin siap jika saatnya tiba. Dia harus berubah dan hal pertama yang harus dia lakukan adalah mengembalikan keutuhan rumah tangga kedua orangtuanya yang hancur karena harta. Dia tidak ingin melihat orangtuanya terjebak dalam kenistaan. Mereka akan bertemu Izrail dengan wajah menyeramkan. Tidak, pikirnya. Dia harus melakukan sesuatu...
*****
Esok harinya, Sarah memasukkan seluruh barang-barang mewahnya ke dalam kardus dan memanggil petugas lembaga sosial swasta untuk menyumbangkan semua itu. Hampir seluruh isi lemarinya habis, hanya tinggal beberapa pakaian sederhana. Tas dan sepatu bermerek tidak satupun yang dia sisakan. Dia juga mengambil seluruh isi tabungannya tanpa tersisa kemudian memberikannya pada panti asuhan, rumah zakat, dan panti jompo. Dia tidak berencana memberitahu ayah dan ibu tentang hal ini. Kalaupun mereka bertanya, Sarah sudah punya ide.
Dan benar saja, ayah dan ibu sudah menunggunya di ruang tamu ketika dia pulang. Ekspresi mereka garang. Sebaliknya, Sarah tampak rileks.
“Tadi malam aku bertemu malaikat Izrail dalam mimpiku.” Ucap Sarah membuat keduanya terbelalak.
“Apa kau bilang?” sergah ayahnya cepat-cepat. “Apa kau pikir kami akan percaya?”
“Terserah Ayah dan Ibu. Aku hanya melakukan apa yang dia katakan.”
“Apa yang dia katakan?”
“Kematianku sudah dekat. Aku harus bersiap-siap.” Sarah melihat mata mereka melotot ketakutan. “Lalu aku tanya, bagaimana aku harus bersiap-siap?”
Berimanlah pada Allah dan Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya iman, lalu kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat, bersedekahlah, berbuat baiklah pada ibu-bapakmu, saudara-saudaramu, kerabat-kerabatmu, teman-temanmu, dan seluruh manusia....
Sarah tahu kalau dia telah memenangkan hati kedua orangtuanya. Wajahnya menyunggingg senyum tipis. Dia berhasil, dan dia tahu itu.
*****
Kehidupan telah berubah. Anak kecil yang buta dan bodoh perlahan sembuh, pengemis yang sombongpun telah kembali mengemis, dan jalanan yang gelap gulita perlahan dipenuhi cahaya yang gemerlapan.
Tapi jalan raya masih tetap ramai dipenuhi kendaraan yang berlalu-lalang. Roda dua, tiga, dan empat berebut mengambil posisi yang tepat seperti anak-kecil yang sedang latihan baris berbaris. Sarah duduk tenang di salah satu kendaraan itu, roda empat yang jadi kendaraan favoritnya. Kepalanya bersandar pada jendela kaca yang buram. Matanya asik mengamati kesibukan di luar sana. Namun sesekali, matanya mengintip ke dalam bus yang sesak. Dia bisa melihat anak kecil merengek pada ibunya minta dibelikan camilan, kakek-kakek yang asik memainkan rokoknya, seorang gadis yang sibuk dengan ponselnya, bahkan seorang pengamen cilik yang asik menyanyikan lagu untuk para penumpang.
Sarah merasa sangat bersyukur kepada Tuhan. Karena Dia telah memberikannya kesempatan menghirup udara yang bersih dan melihat cahaya keimanan. Orangtuanya juga telah berubah. Sekarang, setiap hari mereka akan bersama-sama mendengarkan siraman rohani dari guru agama mereka, Ustadz Jalal. Ustadz akan memberikan nasihat yang membuat hati mereka sejuk dan tenang. Meskipun mereka banyak bertanya tentang ini dan itu, Ustadz mampu menjawab dengan jawaban yang luar biasa.
Orangtuanya bahkan melakukan lebih dari itu. Mereka telah mengambil semua anak di salah satu panti asuhan yatim piatu sebagai anak asuh mereka. Semua kendaraan mewah telah disumbangkan. Meskipun kaya harta, mereka memilih hidup sederhana.
Ini tidak seberapa, dibandingkan dengan pengorbanan Utsman Bin Affan kepada Islam. Pengorbanan hartanya tidak akan bisa dikalkulasi dengan alat penghitung manapun, pikir Sarah. Dia baru saja menerima kisah ini dari Ustadz Jalal tadi pagi. Dia tersenyum penuh rasa bangga. Dia bersyukur atas keimanan yang diberikan Tuhan dalam hatinya.
Tiba-tiba dia merasa bahwa dunia seakan melambat. Kabut putih muncul dari segala arah, memburamkan pandangannya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha menemukan sumber keanehan. Dan matanya terpaku pada sosok yang tiba-tiba muncul di depannya, Izrail.
Dia mengenali wajah itu. Wajah itu menatapnya, mendatanginya...
“Sarah.” Ucapnya.
“Izrail..., Apakah waktuku akan tiba?”
“Ya, sebentar lagi. setelah tikungan ini.”
“Aku senang bertemu denganmu. Terlebih kau muncul dengan penampilan yang aku harapkan.”
Izrail tersenyum. “Sebaliknya Sarah. Aku merasa terhormat bertemu dengan tamu Tuhanku Yang Maha Perkasa. Bagimu telah disiapkan tempat yang lebih baik dari dunia ini.”
“Apa aku bisa bertemu Dia?” tanpa terasa air mata menetes dan jatuh ke pipinya.
“Jika waktunya telah tiba. Ketahuilah, Sarah. Tuhanmu sangat dekat. Dia yang menemanimu selama ini.
Memberikan petunjuk-Nya kepadamu agar kau kembali ke jalan yang benar.”
“Aku senang aku bisa kembali. Aku senang kau menjemputku dengan wajahmu yang menyenangkan karena itu memang keinginanku. Dan aku akan lebih senang jika bertemu Tuhanku.”
“Akan ada banyak sekali yang ingin menemuimu. Di hari nanti, hamba-hamba yang disayangi Tuhan akan berkumpul bersama-sama mendapat limpahan ridho dan kasih sayang-Nya. Jadi, Sarah... jangan takut.”
Sarah tersenyum menatap Izrail yang membalas tersenyum. “Hanya perasaanku saja atau hanya aku yang bisa melihatmu sekarang?”
“Tidak..., Kau benar. Aku hanya memperlihatkan diriku padamu sekarang.”
“Selama ini aku bisa melihatmu.”
“Aku tahu.”
“Kau tahu?”
“Ya. Aku tahu kau bisa melihatku. Itu anugerah dari Tuhanmu yang harus kau syukuri.”
“Awalnya aku takut kalau kau akan menjemputku segera. Tapi sekarang aku tahu, itu adalah bagian dari rencana-Nya, Yang Maha Pengampun.”
“Ya, Sarah. Tuhan lebih mengetahui apa yang tidak kita ketahui.”
“Apa sebenarnya yang akan terjadi setelah tikungan nanti?”
“Kecelakaan. Tidak akan ada yang selamat, Sarah. Apa kau takut?”
“Tidak. Hanya sedikit gugup.”
“Tidak perlu takut, Sarah. Aku akan membawamu sebelum kecelakaan itu terjadi.”
“Benarkah? Kenapa?”
“Itu adalah takdir yang diberikan-Nya untukmu.”
Sarah tidak tahu harus senang atau sedih dalam situasi ini. Dia sedih karena belum mengucapkan selamat tinggal pada kedua orangtuanya. Paling tidak, melihat wajah mereka untuk yang terakhir kalinya.
“Sebentar lagi, Sarah.”
“Apakah rasanya sakit?”
“Aku tidak tahu. Ketika menjemput tamu-tamu-Nya, aku hanya berharap mereka tidak kesakitan.”
“Aku ingin hidup lebih lama. Mencari bekal lebih banyak di hari nanti.”
“Kau harus mensyukuri takdir yang diberikan padamu, apapun itu.”
“Kau benar. Sebentar lagi, kan?”
“Iya. Tikungannya sudah terlihat.”
Sarah melihat jiwa-jiwa dalam bus yang polos dan tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu bahwa kurang dari satu menit lagi, kematian akan menemui mereka.
“Sudah saatnya..., Peganglah tanganku dan pejamkan matamu.”
Sarah mengangguk dan meraih tangan Izrail. Tangan itu dingin seperti es. Tapi rasa dinginnya menyejukkan hati dan pikiran Sarah. Matanya terpejam rapat.
Dia bisa melihat taman-taman hijau, kolam air yang jernih, kolam susu yang wangi, pohon yang tertiup angin pelan, dan keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dia mencium aroma surga yang semerbak tajam memenuhi hidungnya. Dan dia bisa melihat istana putih berlapis permata yang telah disiapkan untuknya. Bibirnya menyungging senyum kebahagiaan. Dia siap bertemu Tuhannya...
Bayangan itu semakin jelas. Dia bisa melihat bayangan itu meskipun orang lain tidak bisa melihatnya. Bayangan putih yang terkadang berwajah ramah, penuh senyum, dan tawa. Ketika itu, wajah bayangan, putih dan bersih. Pakaiannya juga putih; jubah panjang lengkap dengan sorban. Wajah itu akan menatap orang-orang yang disayangi Tuhannya, orang-orang yang hidup mulia di dunia. Rajin bersujud dan menangis penuh ketulusan dalam hati mereka. Mereka akan meninggal dengan menyungging senyum kebahagiaan.
Namun terkadang, atau lebih sering menurut pengamatan Sarah, wajah itu akan menjadi garang dan bengis. Wajah merah bercampur hitam dengan rambut panjang dan lebat. Tubuhnya bak raksasa yang siap menerkam. Tidak ada keteduhan, tidak ada ketenangan, kelembutan, dan kebahagiaan dalam matanya. Sebagai gantinya, orang-orang yang berbuat buruk di dunia harus siap menerima murka Tuhannya. Mereka akan pergi dengan tidak terhormat, dengan mata membelalak menatap panasnya neraka dan wajah memerah penuh duka.
Ya. Bayangan yang dilihat Sarah adalah Izrail, sang malaikat maut.
Setiap kali Izrail lewat di depannya, Sarah tidak bisa menahan diri. Tanpa sepengetahuan Izrail, Sarah akan mengikutinya dan mencari tahu, nyawa siapakah yang dia jemput. Jika belum bertemu dengan si sakaratul maut, Izrail tampak bercahaya. Namun dia akan lebih bercahaya jika bertemu tamu Tuhan yang dimuliakan. Sebaliknya dia akan berubah mengerikan jika menjemput sang durhaka dari dunia.
Dalam hati, diam-diam, Sarah sangat kagum. Bukan hanya kagum pada kemampuannya melihat sang malaikat, tapi lebih-lebih pada sosok malaikat Izrail. Semua orang takut pada kedatangannya, takut dia akan menjemput mereka, takut pada kematian. Padahal menurut Sarah, Izrail terlihat menyenangkan. Dia akan tersenyum sangat ramah dan teduh pada tamu-tamu Tuhannya. Senyuman dan keteduhan yang mampu membuat jiwa-jiwa itu merasa bahagia, sehingga seakan-akan mereka lupa akan bertemu dengan kematian dan meninggalkan dunia fana. Senyum yang diiringi kata-kata penyejuk jiwa akan menjadi penghibur duka karena meninggalkan orang yang mereka sayang. Senyuman itu pula yang membuat mereka menyambut kematian sebagai teman lama, sangat akrab dan bersahabat.
Ini gila, pikir Sarah. Dia tidak mungkin mengagumi sosok Izrail. Apakah ini artinya dia ingin mati? Tidak. Dia tidak ingin cepat-cepat mati. Bagaimana kalau Izrail menemuinya dengan wajah yang menyeramkan? Tidak, dia tentu tidak ingin melihat wajah itu.
Dia ingin melihat wajah Izrail yang tersenyum ketika kematiannya tiba.
Tapi bagaimana caranya?
Tentu Sarah sudah tahu caranya. Cara untuk bertemu sang malaikat yang menyungging senyum adalah dengan menjadi tamu Allah di syurga. Tamu yang akan disambut para malaikat dengan wajah kagum dan bangga. Tamu yang akan disambut sang nabi dengan wajah berseri-seri....
Mata Sarah menatap langit-langit kamarnya yang berwarna biru pucat. Jika dia memang serius mempersiapkan bekal kematiannya dia harus mulai dari sekarang. Dia tidak boleh menunda-nunda lagi. Dia harus secepatnya meninggalkan kehidupan glamour yang bermewah-mewah, kehidupan elit yang suka hura-hura, dan semua kehidupan yang fana.
Pikiran ini telah mengganggu Sarah sejak lama. Sejak dia bisa melihat Izrail setahun lalu, dia semakin sering merenung tentang kehidupan. Kecelakaan mobil yang hampir merenggut nyawanya setahun lalu-lah yang membuatnya bisa melihat Izrail dengan jelas. Awalnya dia ketakutan karena mengira Izrail menampakkan diri untuknya, untuk menjemput dirinya. Terlebih saat itu, Sarah berada di tengah-tengah antara manusia dan budak nafsu. Dia tidak ingin Izrail menemuinya. Tidak pada waktu itu.
Namun akhirnya dia mengerti kalau waktunya belum tiba. Izrail belum menatap matanya, mendatanginya...
Tentu saja ayah dan ibunya tidak tahu tentang kemampuannya ini, karena mereka tidak pernah mengajaknya bicara sejak bangun dari koma. Mereka hanya mengucapkan ‘selamat pagi’ dan ‘selamat malam’.
Sarah terjaga sepanjang malam. Dia ingin siap jika saatnya tiba. Dia harus berubah dan hal pertama yang harus dia lakukan adalah mengembalikan keutuhan rumah tangga kedua orangtuanya yang hancur karena harta. Dia tidak ingin melihat orangtuanya terjebak dalam kenistaan. Mereka akan bertemu Izrail dengan wajah menyeramkan. Tidak, pikirnya. Dia harus melakukan sesuatu...
*****
Esok harinya, Sarah memasukkan seluruh barang-barang mewahnya ke dalam kardus dan memanggil petugas lembaga sosial swasta untuk menyumbangkan semua itu. Hampir seluruh isi lemarinya habis, hanya tinggal beberapa pakaian sederhana. Tas dan sepatu bermerek tidak satupun yang dia sisakan. Dia juga mengambil seluruh isi tabungannya tanpa tersisa kemudian memberikannya pada panti asuhan, rumah zakat, dan panti jompo. Dia tidak berencana memberitahu ayah dan ibu tentang hal ini. Kalaupun mereka bertanya, Sarah sudah punya ide.
Dan benar saja, ayah dan ibu sudah menunggunya di ruang tamu ketika dia pulang. Ekspresi mereka garang. Sebaliknya, Sarah tampak rileks.
“Tadi malam aku bertemu malaikat Izrail dalam mimpiku.” Ucap Sarah membuat keduanya terbelalak.
“Apa kau bilang?” sergah ayahnya cepat-cepat. “Apa kau pikir kami akan percaya?”
“Terserah Ayah dan Ibu. Aku hanya melakukan apa yang dia katakan.”
“Apa yang dia katakan?”
“Kematianku sudah dekat. Aku harus bersiap-siap.” Sarah melihat mata mereka melotot ketakutan. “Lalu aku tanya, bagaimana aku harus bersiap-siap?”
Berimanlah pada Allah dan Rasul-Nya dengan sebenar-benarnya iman, lalu kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat, bersedekahlah, berbuat baiklah pada ibu-bapakmu, saudara-saudaramu, kerabat-kerabatmu, teman-temanmu, dan seluruh manusia....
Sarah tahu kalau dia telah memenangkan hati kedua orangtuanya. Wajahnya menyunggingg senyum tipis. Dia berhasil, dan dia tahu itu.
*****
Kehidupan telah berubah. Anak kecil yang buta dan bodoh perlahan sembuh, pengemis yang sombongpun telah kembali mengemis, dan jalanan yang gelap gulita perlahan dipenuhi cahaya yang gemerlapan.
Tapi jalan raya masih tetap ramai dipenuhi kendaraan yang berlalu-lalang. Roda dua, tiga, dan empat berebut mengambil posisi yang tepat seperti anak-kecil yang sedang latihan baris berbaris. Sarah duduk tenang di salah satu kendaraan itu, roda empat yang jadi kendaraan favoritnya. Kepalanya bersandar pada jendela kaca yang buram. Matanya asik mengamati kesibukan di luar sana. Namun sesekali, matanya mengintip ke dalam bus yang sesak. Dia bisa melihat anak kecil merengek pada ibunya minta dibelikan camilan, kakek-kakek yang asik memainkan rokoknya, seorang gadis yang sibuk dengan ponselnya, bahkan seorang pengamen cilik yang asik menyanyikan lagu untuk para penumpang.
Sarah merasa sangat bersyukur kepada Tuhan. Karena Dia telah memberikannya kesempatan menghirup udara yang bersih dan melihat cahaya keimanan. Orangtuanya juga telah berubah. Sekarang, setiap hari mereka akan bersama-sama mendengarkan siraman rohani dari guru agama mereka, Ustadz Jalal. Ustadz akan memberikan nasihat yang membuat hati mereka sejuk dan tenang. Meskipun mereka banyak bertanya tentang ini dan itu, Ustadz mampu menjawab dengan jawaban yang luar biasa.
Orangtuanya bahkan melakukan lebih dari itu. Mereka telah mengambil semua anak di salah satu panti asuhan yatim piatu sebagai anak asuh mereka. Semua kendaraan mewah telah disumbangkan. Meskipun kaya harta, mereka memilih hidup sederhana.
Ini tidak seberapa, dibandingkan dengan pengorbanan Utsman Bin Affan kepada Islam. Pengorbanan hartanya tidak akan bisa dikalkulasi dengan alat penghitung manapun, pikir Sarah. Dia baru saja menerima kisah ini dari Ustadz Jalal tadi pagi. Dia tersenyum penuh rasa bangga. Dia bersyukur atas keimanan yang diberikan Tuhan dalam hatinya.
Tiba-tiba dia merasa bahwa dunia seakan melambat. Kabut putih muncul dari segala arah, memburamkan pandangannya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha menemukan sumber keanehan. Dan matanya terpaku pada sosok yang tiba-tiba muncul di depannya, Izrail.
Dia mengenali wajah itu. Wajah itu menatapnya, mendatanginya...
“Sarah.” Ucapnya.
“Izrail..., Apakah waktuku akan tiba?”
“Ya, sebentar lagi. setelah tikungan ini.”
“Aku senang bertemu denganmu. Terlebih kau muncul dengan penampilan yang aku harapkan.”
Izrail tersenyum. “Sebaliknya Sarah. Aku merasa terhormat bertemu dengan tamu Tuhanku Yang Maha Perkasa. Bagimu telah disiapkan tempat yang lebih baik dari dunia ini.”
“Apa aku bisa bertemu Dia?” tanpa terasa air mata menetes dan jatuh ke pipinya.
“Jika waktunya telah tiba. Ketahuilah, Sarah. Tuhanmu sangat dekat. Dia yang menemanimu selama ini.
Memberikan petunjuk-Nya kepadamu agar kau kembali ke jalan yang benar.”
“Aku senang aku bisa kembali. Aku senang kau menjemputku dengan wajahmu yang menyenangkan karena itu memang keinginanku. Dan aku akan lebih senang jika bertemu Tuhanku.”
“Akan ada banyak sekali yang ingin menemuimu. Di hari nanti, hamba-hamba yang disayangi Tuhan akan berkumpul bersama-sama mendapat limpahan ridho dan kasih sayang-Nya. Jadi, Sarah... jangan takut.”
Sarah tersenyum menatap Izrail yang membalas tersenyum. “Hanya perasaanku saja atau hanya aku yang bisa melihatmu sekarang?”
“Tidak..., Kau benar. Aku hanya memperlihatkan diriku padamu sekarang.”
“Selama ini aku bisa melihatmu.”
“Aku tahu.”
“Kau tahu?”
“Ya. Aku tahu kau bisa melihatku. Itu anugerah dari Tuhanmu yang harus kau syukuri.”
“Awalnya aku takut kalau kau akan menjemputku segera. Tapi sekarang aku tahu, itu adalah bagian dari rencana-Nya, Yang Maha Pengampun.”
“Ya, Sarah. Tuhan lebih mengetahui apa yang tidak kita ketahui.”
“Apa sebenarnya yang akan terjadi setelah tikungan nanti?”
“Kecelakaan. Tidak akan ada yang selamat, Sarah. Apa kau takut?”
“Tidak. Hanya sedikit gugup.”
“Tidak perlu takut, Sarah. Aku akan membawamu sebelum kecelakaan itu terjadi.”
“Benarkah? Kenapa?”
“Itu adalah takdir yang diberikan-Nya untukmu.”
Sarah tidak tahu harus senang atau sedih dalam situasi ini. Dia sedih karena belum mengucapkan selamat tinggal pada kedua orangtuanya. Paling tidak, melihat wajah mereka untuk yang terakhir kalinya.
“Sebentar lagi, Sarah.”
“Apakah rasanya sakit?”
“Aku tidak tahu. Ketika menjemput tamu-tamu-Nya, aku hanya berharap mereka tidak kesakitan.”
“Aku ingin hidup lebih lama. Mencari bekal lebih banyak di hari nanti.”
“Kau harus mensyukuri takdir yang diberikan padamu, apapun itu.”
“Kau benar. Sebentar lagi, kan?”
“Iya. Tikungannya sudah terlihat.”
Sarah melihat jiwa-jiwa dalam bus yang polos dan tidak tahu apa-apa. Mereka tidak tahu bahwa kurang dari satu menit lagi, kematian akan menemui mereka.
“Sudah saatnya..., Peganglah tanganku dan pejamkan matamu.”
Sarah mengangguk dan meraih tangan Izrail. Tangan itu dingin seperti es. Tapi rasa dinginnya menyejukkan hati dan pikiran Sarah. Matanya terpejam rapat.
Dia bisa melihat taman-taman hijau, kolam air yang jernih, kolam susu yang wangi, pohon yang tertiup angin pelan, dan keindahan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dia mencium aroma surga yang semerbak tajam memenuhi hidungnya. Dan dia bisa melihat istana putih berlapis permata yang telah disiapkan untuknya. Bibirnya menyungging senyum kebahagiaan. Dia siap bertemu Tuhannya...
By : Kunti Fadlilah
Sidomulyo Sidayu - Gresik
Artikel Terkait:
Cerita Menarik
- Daftar Pemenang Lomba Menulis
- Sakura: Diantara Derita dan Harakiri…
- Agus 'n The Backboys (Falling in Leave)
- Agus 'n The Backboys (Kerja Part Time)
- Agus 'n The Backboys (Si Manis Jembatan Gantung)
- Seperti Akuntansi
- Aldi Cinta Indonesia Kok, Yah
- Pecandu Rokok
- Mami Minta Pulsa ??
- Di Waktu Yang Tepat
- My Neighbor
- Tepi Romantisme
- Jelajah Toba, Samosir, Desa Janjimarapot dan segala kebaikan khas Batak
- Aku Juga Wanita
- I Luph U... Emak
- Epilog Doa III
- Paintball Made In Bagas
- Masih Ada Harapan Untuk Disa
- Es Rosella Untuk Kiara
- Kembalikan Mereka
- Gadget and Love
- Sudah Jatuh Tertimpa Tangga
- Sipit
- Komikmu dalam Komikku
Lomba
- Daftar Pemenang Lomba Menulis
- Sakura: Diantara Derita dan Harakiri…
- Agus 'n The Backboys (Falling in Leave)
- Agus 'n The Backboys (Kerja Part Time)
- Agus 'n The Backboys (Si Manis Jembatan Gantung)
- Life Reward Me Hello
- Seperti Akuntansi
- Hidupku Kekasihku
- Gerilyawan
- Tips Mengatasi Masalah Cinta
- Aldi Cinta Indonesia Kok, Yah
- Pecandu Rokok
- Indonesia 2099
- Antara Malam dan Kawan
- Mami Minta Pulsa ??
- Di Waktu Yang Tepat
- Tentang Kamu dan Sebuah Rindu
- Sekeping Hati
- Tentang Sepotong Hati
- Berjalan ke pasar
- Pada ujung usia
- Daun diatas bantal
- Menanti Cahaya Pagi
- My Neighbor
- Tepi Romantisme
Moga qt termasuk org yg husnul khotimah... amiin (shinyan_yd@yahoo.com)
ReplyDeletesampe merinding juga...bagus..,,(aharisah@gmail.com)
ReplyDeletewah tenkyu ya,,, hehehe
ReplyDeleteSubhanallah... trimakasih.. sudah mengembalikan q pada kenyataan..
ReplyDeleteterkadang q sering terjebak dalam mimpi...
hehehe... thanks all..
Deletewelcome back deh
subhaanallah,,,,,,,,
ReplyDeleteit's a good writing :)
ReplyDeleteBagus bgt dek...Thx buat ngingetin kita,,
ReplyDeletemakasih mbak fin...
Deletelagi-lagi tulisanmu buatqu merinding......
ReplyDeleteemange hantu oppo...
Delete