Wednesday, February 6, 2013

My Neighbor



Alunan indah piano menderu lagi ditelingaku melodinya yang lembut membuatku terhanyut bersama hembusan angin. Nada-nada akustiknya. Membawa kedamaian di hatiku. Namun, terkadang aku ingin menangis saat irama klimaksnya menandakan kesedihan. Kutatap kagum sesosok pria yang piawai mengalunkan nada indah dari sebuah grand piano dibalik jendela kamarku. Sudah 3 hari sejak kepindahan ku ke kota ini, aku sering melihat pria itu memainkan piano disebuah rumah, tepat disebrang rumahku. Aku hanya dapat terpaku melihat tubuhnya yang membelakangiku, memainkan pianonya. Ia selalu mengalunkan musik yang sama setiap harinya. Musik yang sangat mellow tapi memberikan ketenangan bagi siapa saja yang mendengarnya.

Sore ini langit begitu gelap, satu persatu tetesan air pun turun begitu cepat dari langit. Sembari berteduh karena hujan yang begitu deras, aku menghembuskan nafasku pada kedua tanganku lalu menggeseknya, dengan cara inilah aku menghangatkan tanganku yang kaku karna udara dingin.

“Arrrrggggh” teriakku saat sebuah ban mobil mencipratkan lumpur padaku. Aku menatap marah pada mobil yang sudah jauh dari hadapanku. Tega sekali, bukanya minta maaf malah pergi begitu saja. Segera aku mengelap lumpur yang ada di pipi dan tanganku dengan sebuat sapu tangan. Menjijikan. Sial sekali aku hari ini, tadi pagi aku terlambat datang ke sekolah lalu siangnya aku dimarahi oleh guruku dan sekarang aku terjebak di tengah hujan dengan baju super kotor begini.

Aku menghela nafas lalu memperhatikan sekelilingku, sepi, aku mulai resah. Kapan hujan akan berhenti? Aku ingin pulang. Aku terkejut saat seseorang menaruh jaket dipundaku. Ia seorang pria, dari wajahnya sepertinya ia seumuran denganku.

“Apa maksudmu?” tanyaku ketus . Dia tak menjawabku malah terus menatapku tanpa ekspresi. Aku pun menyiapkan kuda-kuda layaknya seorang karateka

“Kalau kau berani macam-macam akan kupatahkan seluruh tubuhmu. Asal kau tau aku ini sudah ban hitam” bohongku. Ia melirik kemejaku yang kotor lalu meletakan jaketnya lagi kepundaku. Aku mengernyitkan keningku

“Kau ini mau apa, huh?” tanyaku heran. Sekali lagi ia menatapku dingin tiba-tiba saja lengan kananku ditariknya dan ia memberiku sebuah payung kemudian ia berbalik menerobos hujan tanpa berkata sepatah kata pun padaku.
Orang aneh, kini aku menatap payung dan jaket yang diberikannya, sepertinya dia bermaksud menolongku. Hah bodoh sekali, aku sudah bersikap kasar pada orang yang mau menolongku.

Tanpa pikir panjang, aku memakai jaket dan payung itu, lalu beranjak dari tempatku berteduh. Aku menelusuri jalanan kota Seoul sembari memikirkan pria tadi. Dia memberikan jaket dan payungnya padaku sedangkan dia sendiri terkena hujan. Dia berkorban untukku padahal dia tidak mengenalku, sungguh baik.
Tak terasa aku telah sampai di depan rumah. Kulirik rumah di sebrang rumahku. Seperti biasa alunan piano itu terdengar lagi tepat jam 5 sore. Aku buru-buru masuk ke rumah dan berlari ke kamarku yang ada dilantai dua. Lagi-lagi aku mengintipnya dibalik jendela kamarku. Kupejamkan mataku menikmati indahnya alunan musik dari grand piano yang dimainkan pria itu. Aku terbuyar dari alam damaiku ketika alunan piano itu berhenti. Kugeser tiraiku sedikit. Mataku menangkap seseorang disebrang sana sedang menghadap kejendela. Kubelalakan mataku lebar-lebar pria yang memainkan piano itu ternyata adalah pria yang tadi menolongku.

Tiba-tiba saja pria itu tersenyum kearahku. Aku mengernyitkan keningku. Omona ! apa dia menyadari keberadaanku yg sedang mengintipnya? Kutatap lagi pria itu. Dia masih tersenyum kearahku. Ya, dia memang menyadari keberadaanku. Aneh sekali padahal tiraiku hanya kubuka sedikit secentipun sepertinya tidak. Kubalikan badanku lalu menghela nafas panjang. Rasanya malu kalo aku harus melihat lagi kearah pria itu. Namun lagi-lagi aku mengintipnya. pria itu sudah tidak lagi berada disana.
Kini permainan pianonya sudah berakhir. Kugeser kembali tirai jendelaku. Aku menghempaskan diri dikasur. Aku sudah lelah sekali. Besok aku harus menemui pria itu dan mengembalikan jaketnya.

“Pagi” sapaku saat pria itu membukakan pintu rumahnya untukku.
Pria itu terdiam dan memandangku tanpa ekspresi.
“Err… ini” ucapku sambil menyerahkan payung yang diberikannya kemarin
“Mianhae, kemarin aku bersikap kasar padamu. Aku tidak tahu kalau kita ini tetangga” lanjutku.

Lagi-lagi dia mengacuhkan perkataanku, diam seribu bahasa. Apa dia tunawicara? Dia tersenyum, lalu membukakan pintu rumahnya lebar-lebar, sepertinya dia menyuruhku masuk.
Aku pun masuk ke rumah itu tanpa dipersilahkan aku duduk disebuah sofa. Pria itu pergi ke sebuah ruangan. Aku hanya memperhatikan seluruh isi rumah ini. temboknya full dilapisi cat warna putih dan hampir semua barang-barang yang menghiasi ruangan ini berwarna putih. Pria itu kembali dengan membawa segelas minuman, lalu meletakkannya diatas meja yang berada didepanku.

“Gomawo, maaf merepotkan” ucapku sembari membungkuk 45 derajat.
Dia membalasku dengan senyuman. Ya, sepertinya dia memang tunawicara.
“Aku sering mendengarkan permainan pianomu, bagus sekali” ujarku

Dia menatapku, lalu tiba-tiba saja tanganku ditariknya. Dia membawaku ke sebuah ruangan di lantai dua. Kulihat sebuah grand piano menengah berwarna putih berdiri kokoh ditengah ruangan dan dibelakangnya terdapat sebuah jendela. Dari jendela itulah aku sering melihat pria ini memainkan pianonya.

Pria itu masih mengenggam tanganku. Kurasakan dingin tangannya. Dia membawaku menuju grand piano itu. Kami berdua duduk di depan piano itu. Kini kedua tangannya menempel pada tuts piano. Alunan music pun terdengar dari papan-papan suara piano itu. Masih musik yang sama. Minor tapi indah. Kuperhatikan jari-jarinya yang lincah memencet tuts demi tuts, hebat. Aku seperti sedang melihat concert grand piano sungguhan. Tiba-tiba saja tangan dinginnya menyentuh tanganku dan meletakkannya di atas tuts pianonya.

“Ah..aku…aku tidak bisa” ucapku saat pria itu mengisyaratkan agar aku mengikuti permainan pianonya. Pria itu tersenyum. Ia melingkarkan lengan kanannya melewati tubuhku, tangan kanannya diletakan sejajar dibawah tangan kananku. begitu juga dengan tangan kirinya. Kedua tangannya bergerak perlahan menekan tuts-tuts piano bersama dengan tanganku yang menempel dipunggung tangannya, seolah dia sedang mengajariku.

Aku sama sekali tidak takut dengannya padahal kalau melihat posisinya yang sedang mengajariku ini seperti sedang memelukku namun entah kenapa aku malah merasa nyaman didekatnya. Sudah seminggu aku mengenal pria itu dan kami semakin dekat saja. dia sudah banyak menolongku, saat di hari hujan itu, saat aku terlambat ke kantor dia mengantarku dengan sepedanya dia juga mengajarkanku bermain piano. Dia selalu ada setiap aku butuh dan aku tidak segan-segan padanya. Aku merasa seperti sudah lama mengenalnya. Sayangnya, sedikitpun dia tidak pernah berbicara padaku bahkan aku tidak tahu namanya. Tapi, sepertinya aku mulai menyukainya.

Seseorang terus saja memencet bel pintu rumahku, dengan amat terpaksa aku pun bangun dari tidurku dan berjalan menuju pintu depan. Saat kubuka pintu kulihat si pemain piano itu berdiri dibaliknya. Aku menatap aneh padanya, kenapa ia datang tengah malam begini.

“Ada apa?” tanyaku.
Tiba-tiba saja ia menarik lenganku dan menyuruhku untuk naik sepedanya.

Awalnya aku ragu namun tiba-tiba saja tubuhku tergerak dan menaiki sepedanya. Dia mulai mengayuh. Kulihat sebuah gitar ditaruh pada basket yang menempel di head tube sepedanya. Dia mau membawaku kemana? Aku memeluk erat tubuh pria itu karena Udara dingin membuat semua bulu kuduku berdiri. Dinginnya sampai menusuk ke tulangku. Sepeda ini akhirnya berhenti di sebuah taman kota. Kuperhatikan taman itu sangat sepi. Ya, mungkin karena ini sudah tengah malam.
Aku turun dari sepeda si pemain piano itu dan meliriknya.

“Untuk apa kita kesini?” tanyaku heran
Dia mengangkat gitar akustiknya sembari tersenyum. Aku mengerti sekarang. Dia mengajakku kesini untuk menemaninya main gitar. Kami berdua duduk di bangku taman. Dia sudah siap untuk memainkan gitarnya. Baru kusadari aku dan dia memakai baju yang sama. Piyama putih polos. Suatu kebetulan yang sangat aneh.

 “Cepat mainkan” kataku
Dia tersenyum manis dan memulai memainkan gitarnya. Nada yang sama seperti waktu dia memainkan piano.

Aku tak berani berbicara saat dia menyanyikan lagu itu. Namun, aku masih tidak percaya ternyata pria ini bisa berbicara.
“Kau bisa bicara??” tanyaku tidak percaya. Dia menatapku dalam lalu mengangguk “Ya”.
“Kenapa selama ini kau selalu diam? Kukira kau tunawicara..” dia tidak menjawab pertanyaanku. Meninggalkan hal yang masih belum kumengerti dari dirinya.
“Mian...” ucapnya lirih. Aku jadi merasa bersalah telah bertanya seperti itu dan bersikap kasar padanya. Kulihat wajahnya tiada ekspresi. Menandakan kehampaan.
“Oh ya, lagumu tadi bagus sekali aku yang mendengarnya pun sangat terharu rasanya aku ingin menangis. Lagu itu pasti memiliki arti yang sangat penting bagimu” dia tersenyum getir.

“Ya, dari dulu aku tidak bisa hidup dengan orang yang aku cintai, dan sekarang aku pun tak dapat memilkinya lagi”

“Sekarang? memangnya orang yang kau cintai itu 2 orang yang berbeda?” “Hanya satu. Orang yang sama, dia kembali lagi kehadapanku walaupun dalam keadaan yang berbeda. Aku dan dia tidak akan pernah bersama karena kami berbeda dunia”

Aku terdiam. aku masih tidak mengerti apa yang dia bicarakan tapi kuputuskan untuk tidak bertanya terlalu jauh padanya aku takut pertanyaanku akan membuatnya bertambah sedih. “Jika kau tidak bisa hidup dengan orang yang kau cintai apa yang akan kau lakukan?” tanyanya tiba-tiba. Dia membuatku bingung harus menjawab apa. “Ha? Eum..., yang jelas aku akan terus melanjutkan hidupku asalkan orang yang kucintai bahagia aku akan merelakannya” ucapku seadanya.

“Baguslah, kau memang tidak berubah. Aku jadi tenang. Gomawo” “Eh? apa maksudmu?”
“Ani, gwenchana ” dia mengambil sesuatu dari saku celana piyamanya lalu dikeluarkannya sebuah kalung dengan liontin kristal berbentuk bintang.

“Kau mau memakai kalung ini untukku?” tanyanya. Aku menjadi sangat bingung dengannya. Namun, akhirnya kepalaku bergerak mengangguk dia memakaikan kalungnya dileherku.

“Ini untukku? ini indah sekali" ujarku. “Ya, ini kalung thropia. Kalung pertanda cinta abadi” “Kenapa kau berikan untukku?” “Karna ini memang untukmu”

Aku tidak mengerti setiap apa yang dia bicarakan. Selalu saja meninggalkan tanda tanya yang baru di benakku. “Boleh aku memelukmu?” pintanya. Aku bingung harus berbuat apa tapi pada akhirnya aku menganggukan kepalaku lagi. Dia meraihku dan memelukku erat, hangat. Tak pernah kurasakan sedamai ini saat dipeluk oleh seseorang. Aku semakin tidak ingin melepasnya. Aku yakin aku benar-benar mencintai dia. andai dia tau perasaanku saat ini.

“Saranghae ” samar-samar aku mendengar dia mengucapkan saranghae. Tidak, mana mungkin dia mencintaiku. Pasti aku hanya berhalusinasi. Aku terlalu mengharapkannya.

Kini sudah 3 hari aku tak mendengar alunan piano itu lagi, kemana dia?

aku benar-benar merindukan alunan piano itu. merindukan dia yang bahkan tidak kutahu namanya. Aku mengetuk pintu rumah pria itu berkali-kali. Namun, sedikitpun tak kudengar sahutan didalamnya.

“Mencari siapa agasshi ?” ucap seorang lelaki paruh baya.
aku menoleh pada orang itu.    “Ahjusshi , apa anda tau kemana orang yang tinggal di rumah ini?” tanyaku. “Siapa?” “Aku tidak tahu namanya. Tapi, dia pria yang sebaya denganku dia sering bermain piano" jelasku. “Rumah ini, sudah berpuluh-puluh tahun rumah ini tidak dihuni. Apa kau bercanda?”

“Apa? Ahjusshi sedang tidak bercanda, bukan?" tanyaku. “Ya nona, lihat saja rumah itu sudah penuh dengan lumut. Maaf nona saya harus pergi” “Ah ne , kamsahamnida ” ucapku seraya membungkukkan tubuhku.

Aku menoleh pada rumah pemain piano itu. Yang dikatakan ahjusshi tadi benar rumah itu sudah dipenuhi lumut dan retak di beberapa bagian padahal sebelumnya yang kulihat rumah ini sangat asri dan terawat. Tanpa pikir panjang aku masuk kedalam rumah itu kuperhatikan seluruh isinya penuh debu dan barang-barangnya pun sudah rusak. Aku menaiki anak tangga menuju lantai 2.     Aku melihat sebuah grand piano yang dimainkan pria itu. Namun, kondisinya tidak sebagus yang kulihat dulu. Sekarang penuh debu dan usang suaranya pun tidak jernih lagi. Apa semua ini hanya mimpi, apa pria itu cuma halusinasiku saja? Aku benar-benar bingung. Kalau ini halusinasi kenapa semuanya terlihat seperti nyata. Mataku menangkap sebuah lukisan yang tidak pernah kulihat sebelumnya di rumah ini. Aku terkejut saat melihat apa yang terlukis di lukisan itu. Seorang pria dengan sayap putih sedang duduk diatas batu besar seraya membawa sebuah harpa ditangannya. Pria bersayap itu tak lain adalah si pemain piano itu. Keganjalan meliputi pikiranku saat melihat setengah lukisan itu tertutup debu. Kuambil sebuah kain dan kuusap debu yang menyelubungi lukisan itu.

Aku semakin tidak percaya dengan apa yang aku lihat, seorang wanita duduk disebelah pria bersayap itu, dia memakai gaun dan mahkota layaknya seorang putri dan dia terlihat seperti aku. Berbagai pertanyaan kini meliputi pikiranku. Sebenarnya siapa pria itu? Lalu wanita yang mirip denganku ini? apa wanita ini adalah aku dimasa lalu? Kenapa dia mirip sekali denganku? Arrgghh! pertanyaan ini membuatku jadi gila.

Pandanganku tertuju pada leher wanita itu. Sebuah kalung yang sama dengan kalung yang diberikan oleh pria pemain piano itu padaku. Menempel dilehernya. Aku langsung meraba leherku kalung itu juga masih menempel padaku. Berarti aku memang tidak sedang bermimpi. Semua ini nyata. Walaupun semua ini. menyimpan rahasia yang belum kuketahui dan membuat ku tak mengerti tapi yang jelas dia benar-benar ada. Kini dia telah pergi. mungkin sama seperti ia meninggalkan wanita yang ada dilukisan itu. Tapi, kenapa dia harus pergi disaat yang tidak tepat seperti ini disaat aku mulai mencintainya, disaat aku ingin tahu tentangnya. dia meninggalkanku tanpa kuketahui apa-apa darinya, bahkan namanya pun aku tak tahu. Nama yang aku cintai.

By : Nadhifa
Tegal - Jawa Tengah



Artikel Terkait:

0 Comments
Tweets
Komentar FB

0 komentar :

Post a Comment