Saturday, March 9, 2013

Aldi Cinta Indonesia Kok, Yah



“Aldi, ayo bangun! Kamu kan harus sekolah hari ini,” ucap ayah sambil menggoyang-goyangkan tubuh Aldi supaya bergegas turun dari ranjangnya.
Aldi yang sudah kelas 3 SD ini hanya bergumam. Bukannya menuruti perintah ayahnya, Aldi malah merentangkan selimutnya hingga menutupi wajah.
“Jangan malas Aldi. Hari ini ada upacara, kamu harus berangkat sekolah lebih awal.”
“Malas ikut upacara Yah. Panas, berdirinya juga lama. Bikin pegal,” jawab Aldi dari balik selimutnya.
“Jangan begitu Aldi, upacara juga penting.”
Berbagai cara sudah dilakukan. Mulai dari menggoyang-goyangkan tubuh Aldi, membuka selimut yang menutupi wajah, hingga menggelitiki Aldi supaya mau bengun tapi hasilnya nihil. Ayah akhirnya menyerah juga dengan tingkah buah hati satu-satunya itu.

“Bu, anakmu ini susah dibangunin,” Ayah laporan kepada Ibu, kemudian meninggalkan kamar Aldi.
Usaha Ibu untuk membangunkan Aldi ternyata langsung berhasil. Masuk ke kamar dengan membawa gayung berisi air, Ibu membasahi tangannya kemudian mengusap-usapkannya ke wajah Aldi, “Setan-setan pergilah, wus wus. Jangan ganggu anak rajin yang mau mencari ilmu.”

Disegarkan oleh air yang membasahi wajahnya, tidak ada alasan lagi bagi Aldi untuk tidak membuka mata. Dengan ogah-ogahan dia beranjak dari ranjangnya dan pergi ke kamar mandi. Ayah dan Ibu hanya tersenyum memandangi tingkah laku anaknya yang sedang bandel-bandelnya itu.

Sepanjang pagi itu Aldi terus menerus memasang muka cemberut. Menurut dia, Ayah dan juga Ibunya sama sekali tidak tahu betapa beratnya upacara pada hari Senin. Dijemur selama setengah jam di lapangan sekolah, bahkan terkadang bisa sampai 45 menit.

Saat sarapan pagi bersama, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Aldi. Anak laki-laki yang biasanya riang ini tiba-tiba menjadi pendiam. Nasi sayur dan telor dadar yang dihidangkan dia santap dengan ogah-ogahan.

Benar saja, hari Senin memang hari yang menyebalkan buat Aldi. Dia dan juga seluruh siswa di SDN Telagasari harus berdiri di lapangan sekolah, menerima sinar matahari yang sedang cerah-cerahnya. Sial bagi Aldi, karena dia termasuk murid yang paling kecil di kelasnya dia harus berdiri pada baris terdepan. Sesekali dia iri melihat teman-temannya dibelakang mulai ribut sendiri, sementara dirinya harus tetap khidmat mengikuti upacara jika tidak ingin dipelototi para guru yang berdiri persis dihadapan barisannya.

Suasana semakin ramai di belakang ketika upacara sampai pada momen pengibaran bendera Merah Putih. Aldi tidak tahan untuk tidak melihat teman-temannya yang sedang asyik ngobrol. Barisan belakang banyak yang jongkok sambil berlindung dari sengatan matahari. Ketika bendera mulai dikerek dan lagu Indonesia Raya berkumandang, perhatian Aldi malah tertuju pada teman-temannya di belakang. Tidak ada guru yang melihat Aldi karena semua sedang memberi penghormatan kepada bendera Merah Putih.

“Huh apa sih asyiknya upacara? Buat apa Aldi harus hormat kepada bendera setiap hari Senin?” gerutu Aldi dalam hati.
Upacara pagi itu akhirnya berjalan lancar seperti biasanya. Setelah upacara berakhir, teman-teman Aldi yang ada di baris belakang terlihat segar bugar. Mereka bahkan masih sempat-sempatnya bermain lari-larian sembari menunggu pelajaran dimulai. Sementara itu teman-teman Aldi yang baris di depan langsung masuk kelas dan memimum air bekal yang mereka bawa.

Aldi sendiri? Dia malah duduk sendirian di teras depan kelasnya. Masih sebal dengan apa yang dia alami di Senin pagi ini. Bukan hanya akan terjadi kali ini saja, namun juga pasti bakal terulang pada Senin-Senin selanjutnya.

Rasa sebal ini terbawa hingga saat pelajaran dimulai. Sepanjang hari tampang cemberut jadi satu-satunya ekspresi yang keluar dari wajah Aldi. Teman-temannya pun bingung dan takut mengajak Aldi bermain saat jam istirahat sekolah.

“Gimana sekolahnya hari ini, Jagoan?” ucap ayah Aldi yang sudah menunggu di luar gerbang sejak beberapa menit sebelum bel pulang sekolah berbunyi.
Aldi tidak menjawab pertanyaan Ayahnya. Dia hanya mengambil helm dari tangan ayah kemudian duduk di jok belakang motor.
“Kayaknya masih marah ya soal tadi pagi? Tapi upacara itu juga asyik kan? Anggap aja olahraga.”
“Minggu depan Aldi enggak mau lagi ikut upacara Yah. Pokoknya tiap hari Senin Aldi enggak mau berangkat sekolah.”
“Lho kok begitu? Ya sudah nanti Ayah tanya sama Ibu, boleh apa enggak.”
Percakapan ayah dan anak berakhir. Motor melaju meninggalkan SDN Telagasari.

“Mau ikut Ayah enggak?” ayah sudah bersiap di depan kamar Aldi dengan kunci motor dalam genggaman.
Ini sudah dua hari sejak Aldi ngambek Senin lalu. Memang sudah tidak separah dua hari sebelumnya, tapi Aldi masih enggan ngobrol dengan Ayah dan Ibu.

Aldi yang sedang membaca komik sambil tiduran di kamar kurang tertarik menanggapi, “Kemana Yah?”
“Beli baju bola buat Aldi. Seragam timnas Indonesia, Aldi sudah lama pengin itu kan?”
Aldi menutup komiknya. Dia langsung turun dari ranjang dan menjawab dengan semangat, “Beneran Yah? Ayo. Yang nomor 20 Yah, yang ada nama Bambang Pamungkas-nya.”

“Iya, nanti Aldi sendiri yang pilih bajunya. Habis itu beli tiket pertandingan timnas, Aldi mau nonton kan?”
“Wah, mau banget Yah. Aldi kan belum pernah nonton langsung di stadion.”
Aldi segera menggandeng tangan Ayah supaya lekas menuju sepeda motor yang sudah siap dikendarai di depan rumah. Sudah lama Aldi ingin punya kaos timnas, juga tidak sabar ingin segera melihat pemain sepak bola idolanya bertanding sore ini.

Pertandingan sepak bola sore ini ternyata cukup banyak peminatnya. Meskipun hanya pertandingan persahabatan antara timnas Indonesia melawan timnas Malaysia, puluhan ribu penonton hadir menyaksikan langsung di stadion. Tribun bawah hampir semuanya terisi dan hanya menyisakan tribun atas yang sepertinya dibiarkan kosong oleh panitia.

Aldi dan Ayah berada di tribun barat. Bukan termasuk kelas VIP memang, tapi dari tempat mereka duduk terlihat jelas bangku pemain cadangan timnas Indonesia. Aldi dengan lantang meneriaki para pemain yang sedang melakukan pemanasan, meskipun banyak yang tidak dia kenal.

“Ayo nomor 19. Semangat nomor 8. Jangan sampai kalah nomor 3. Nomor 20, ah itu Bambang Pamungkas!” teriaknya girang.
“Hadirin penonton sekalian, beri penghormatan dan kita nyanyikan bersama lagu kebangsaan Indonesia, INDONESIA RAYA!” announcement pertandingan mengajak seluruh penonton untuk memberikan penghormatan. Sorak sorai penonton yang membahana hilang seketika ketika Indonesia Raya akan berkumandang.
“Ayo berdiri Al, kita ikut nyanyi juga. Kamu hafal kan lagu Indonesia Raya?” ayah mengajak Aldi berdiri dari bangkunya.
“Hafal dong Yah, kan Aldi denger tiap upacara bendera di sekolah.”
Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.
Ada perasaan berbeda yang dirasakan Aldi. Ini pertama kalinya dia menyanyikan Indonesia Raya bersama puluhan ribu orang Indonesia lainnya.
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku.
Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.

Sejauh mata Aldi memandang, yang dilihatnya adalah orang-orang yang dengan lantang menyanyikan Indonesia Raya. Tidak ada yang menyanyikannya setengah hati seperti yang biasa dia dengar ketika upacara bendera di sekolah. Semua orang berdiri, memberi penghormatan, dan ikut berseru.
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya!

Tepat didepan Aldi, berdiri seorang pemuda yang sedang mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih. Sekitar lima meter di kanan Aldi, terlihat seorang bapak-bapak mengenakan pakaian serba merah dengan wajah dicat putih. Dia bernyanyi sambil menutup matanya. Begitu khidmat orang itu menghayati. Aldi melihat beberapa tetes air mata membahasi wajahnya yang jadi putih itu. Sementara itu layar televisi besar yang ada di stadion menayangkan sosok seorang kakek. Mengenakan pakaian lusuh, bukan seragam merah-merah seperti suporter kebanyakan, dengan topi yang dikempit di ketiak kiri sementara tangan kanannya memberikan hormat ke bendera Merah Putih yang ada di lapangan.

Indonesia Raya! Merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku, yang kucinta.
Indonesia Raya! Merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.

Tiba-tiba mata Aldi terasa panas. Ia ingin menangis, dia benar-benar terharu dengan apa yang dia lihat saat ini. Tapi dia tidak ingin lapor pada ayah karena Aldi tidak ingin ayah melihatnya sedang menangis.

Indonesia Raya! Merdeka, merdeka. Tanahku, negeriku, yang kucinta.
Indonesia Raya! Merdeka, merdeka. Hiduplah Indonesia Raya.

Meskipun tidak banyak tahu arti yang terkandung dalam syair lagu tersebut, tapi Aldi merinding. Bukan karena takut, tapi merinding karena merasakan kecintaan terhadap sesuatu yang sangat besar dan sangat dekat dengan dirinya. Merinding karena ada semangat yang tiba-tiba meluap dalam dirinya.
Kumandang lagu Indonesia Raya berakhir dengan tepuk tangan riuh dari seluruh penonton yang hadir di stadion.

“Beda banget Yah denger Indonesia Raya di sini dengan di sekolah,” komentar Aldi ketika pertandingan dimulai.
“Oh iya? Apanya yang beda?”
“Aldi enggak tahu Yah, tapi rasanya kalau nyanyi di sini lebih semangat. Aldi aja sampai merinding tadi nyanyinya.”
“Hmm, mungkin karena seluruh orang di sini cinta sama Indonesia Al, makanya semua nyanyi dengan semangat. Apalagi tuh tadi kamu lihat di layar, kakek-kakek aja masih mau hormat buat bendera Merah Putih, padahal bukan siswa sekolah lagi seperti kamu.”
“Iya ya Yah. Tadi Aldi juga lihat ada yang nangis. Itu tandanya mereka cinta Indonesia Yah?”
“Iya, mereka cinta dan bangga. Aldi juga bisa nunjukkin kalau Aldi cinta Indonesia di sekolah, salah satunya dengan serius ikut upacara bendera.”
“Beneran Yah? Kalau Aldi serius pas upacara bendera, berarti Aldi udah cinta Indonesia?”
Ayah mengangguk sependapat. Percakapan usai, dan keduanya fokus menonton pertandingan. Aldi jadi orang yang sepertinya paling gembira dalam setiap gol yang dicetak timnas Indonesia. Aldi sangat ekspresif, tak pernah lelah mendukung para pemain di lapangan.

Hari Senin berikutnya.

Tidak ada lagi Aldi yang malas ikut upacara. Senin bukan lagi hari yang menyebalkan buat Aldi. Malah, kesempatan untuk bisa mengikuti upacara bendera tidak pernah lagi dilewatkan. Itulah salah satu cara Aldi menunjukkan bahwa dia cinta Indoesia.

“Ssssttt, jangan berisik. Kata ayahku, yang enggak serius ikut upacara berarti enggak cinta Indonesia,” bisik Aldi pada teman-temannya di belakang yang ribut ketika upacara bendera di sekolah berlangsung.
“Kepada, Sang Merah Putih, HORMAAAT GRAAAAKK!”
Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku.
Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku.

Meskipun bukan petugas upacara, Aldi ikut menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bukan sekedar ikut, namun Aldi menyanyi dengan penuh penghayatan. Suaranya menggelegar mengalahkan suara petugas paduan suara yang jumlahnya lebih banyak. Teman-teman Aldi kompak menirukan apa yang dilakukan Aldi. Maka, pada upacara bendera Senin itu, ada dua kelompok yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, yaitu kelompok paduan suara dan kelompok dari siswa kelas 3 SDN Telagasari.

By : Dimas Adiputra
Bumirejo - Kebumen




Artikel Terkait:

0 Comments
Tweets
Komentar FB

0 komentar :

Post a Comment